WELCOME TO MY BLOG

Blog ini sebagai penuangan pemikiran dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan

Jumat, 14 Desember 2012

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA PERDATA DENGAN MENGGUNAKAN TERJEMAHAN BURGERLIJK WETBOEK


Oleh : Hasanudin, S.H., M.H.,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini adalah suatu terjemahan dari Burgerlijk Wetboek, ialah salah sebuah kitab undang-undang berasal dari pemerintahan zaman Belanda dahulu, kitab mana demi Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Sementara harus kita warisi dengan segala cacat dan segala celanya (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio dalam pengantar terjemahan Burgerlijk Wetboek (BW))[1]

A.  PENDAHULUAN
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan (Lihat Pasal 164 HIR).  Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim.  Berdasarkan Pasal 178 HIR/189 RBG, setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.  Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah melalui tahap jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, duplik dari tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan oleh para pihak.
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap dipersidangan.  Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat[2] .  Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaannya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli[3].
Dalam praktek peradilan perdata dikenal sumber hukum berupa burgerlijk wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 pasal.  BW tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini.  BW berlaku untuk sebagian warganegara Indonesia yaitu : a) mereka yang termasuk golongan Eropa; b) mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1917 – 129 (lampiran II); dan c) mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1924 – 556 (lampiran I)[4].  Sementara itu untuk golongan Bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat[5] .
BW ditulis menggunakan bahasa Belanda dan hingga saat ini tidak terdapat terjemahan resmi dari Pemerintah Indonesia yang dapat memberikan keseragaman terjemahan yang dapat di gunakan dalam penerapannya.  Oleh karena itu dalam kaitan praktek peradilan menjadi permasalahan adalah apakah penggunaan BW terjemahan yang dilakukan oleh hakim untuk memutus sengketa yang diajukan kepadanya tidak cacat hukum ?. 

B.  PEMBAHASAN
1.    Asas-Asas Putusan
Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus ditinjau dari asas-asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan.  Pada hakikatnya asas-asas  tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/189 RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a.  Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.  Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.  Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum[6].
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.  Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis,  Akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.  Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan  putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b.  Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.  Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya.  Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.
c.  Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal  178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.  Larangan itu disebut ultra petitum partium.  Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.  Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).  Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan itikad baik[7].
d.  Diucapkan di muka Umum
Persidangan dan putusan diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial.  Melalui asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir.  Prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian.  Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di muka umum berakibat putusan batal demi hukum
2.   Pertimbangan Hakim dengan Menggunakan BW Terjemahan
Hukum positif dituangkan dalam undang-undang adalah kristalisasi kehendak masyarakat.  Penguasaan atas bahasa undang-undang sangat diperlukan untuk memahami kehendak masyarakat tersebut agar tidak menimbulkan penafsiran yang bertentangan dengan kehendak masyarakat.  Itulah latar belakang pentingnya penguasaan Bahasa Belanda untuk dapat memahami maksud dari segala pasal-pasal dalam BW.

Faktanya adalah minimnya penguasaan Bahasa Belanda oleh para yurist saat ini.  Sepengetahuan penulis tidak lebih dari seperlima dari jumlah keseluruhan hakim agung yang menguasai Bahasa Belanda.  Konsekuansinya adalah penggunaan BW terjemahan oleh para hakim/praktisi hukum untuk menjadi problem solving atas berbagai permasalahan hukum yang ada.  BW adalah undang-undang sehingga harus diterapkan sebagai legal reasoning hakim dalam putusannya.
Penggunaan BW terjemahan tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para hakim baik hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.  Tidak pernah tercatat dalam sejarah peradilan Indonesia putusan hakim menjadi batal atau batal demi hukum dikarenakan penggunaan BW terjemahan.  Substansi dari putusan yang pada hakikatnya menggunakan BW terjemahan juga telah dapat diterima oleh masyarakat mengingat kebutuhan menghendakinya (doelmatigheid).
Dari berbagai putusan perdata yang menggunakan BW sebagai problem solving atas sengketa yang ada,  penulis tidak pernah melihat hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwasanya pasal BW yang dikutip adalah terjemahan dari orang lain.  Terlihat seolah hakim tersebutlah yang menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia.  Menurut penulis hal tersebut tidak menjadi persoalan asalkan diambil dari terjemahan penterjemah yang diakui dan teruji kapasitasnya.
Secara yuridis, tidak terdapat suatu pengaturan yang mengancam kebatalan bagi suatu putusan yang menggunakan BW terjemahan sebagai dasar pertimbangan.  Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Pelanggaran terhadap pasal tersebut mengakibatkan putusan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan alasan tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiverd. 

C.     PENUTUP
Penggunaan BW terjemahan telah menjadi kelaziman dan kebutuhan hukum menghendakinya (doelmatigheid).  Tidak pernah suatu putusan batal atau batal demi hukum atas alasan pengggunaan BW terjemahan.  Penulis sependapat dengan hal itu walaupun sudah barang tentu penggunaan BW terjemahan berdimensi amatir bagi hakim yang menggunakannya.
Oleh karena itu kepentingan hukum Indonesia menghendaki penguasaan Bahasa Belanda bagi para yurist dikarenakan alasan sejarah hukum kita maupun secara de yure masih banyak perundang-undangan kolonial yang masih berlaku.  Memahami hukum dengan baik haruslah memahami bahasa asli dari hukum itu sendiri.


[1] http://www.hukumonline.com, Merajut Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009
[2]    Lihat Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[3]    R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung, Mandar Maju, 2005, Hlm. 146.
[4]    R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004, Hlm. vi-vii.
[5]    Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 1996, Hlm. 10.
[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, Hlm.  798.
[7] Ibid, Hlm. 801-802


DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.comMerajut Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009

H. M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar, Surabaya, Ubhara Press, 1998.

R.  Tresna, Komentar HIRJakarta, Pradnya Paramitha, 1996.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara PerdataJakarta, Sinar Grafika, 2005.

R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan YurisprudensiBandung, Mandar Maju, 2005.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004.

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum PerdataJakarta, PT Intermasa, 1996.

-----------, Hukum PembuktianJakarta, PT Pradnya Paramitha, 2003

UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman