WELCOME TO MY BLOG

Blog ini sebagai penuangan pemikiran dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan

Senin, 14 Juni 2010

LARWUL NGABAL (HUKUM ADAT DI KEPULAUAN KEI)


“Jika hidup dan kehidupan kita di dunia ini berbuat baik menurut hukum adat dan agama kita, maka kita akan memperoleh bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui, yang akan menghantarkan kita tetap melangkah ke depan sampai ke tujuan dengan selamat (J.P. Rahail)”

PENDAHULUAN
Kepulauan Kei (Evav) adalah gugusan pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dengan ibukotanya bernama Tual (kini telah dimekarkan menjadi Kota Tual). Terdiri sekitar 100 pulau yang terbagi dalam 5 (lima) kelompok gugus pulau-pulau, yaitu Kei Besar (Nuhu Yuut), Kei Kecil (Nuhu Roa), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Tayando (Tahayad) dan Kur. Wilayah daratan secara keseluruhan seluas 24.958 km2 sedangkan wilayah lautan tidak kurang dari 190.000 km2. Secara astronomi terletak antara 5005’-6004’ LS dan 131055’-133013’ BT sedangkan secara geografis sebelah barat berbatasan dengan gugusan Kepulauan Tanimbar (Kabupaten Maluku Tenggara Barat), sebelah timur dengan gugusan Kepulauan Aru (Kabupaten Kepulauan Aru), sebelah utara dengan daratan besar Papua dan sebelah selatan dengan Australia.
Struktur tanah di Kepulauan Kei berbatu-batu dan tandus. Batu dalam Bahasa Portugis disebut “kayos”, sehingga Bangsa Portugis yang singgah pada zaman dahulu menamakannya Pulau Kei. Tanah putih mendominasi struktur tanah di Kepulauan Kei. Semua pantai berpasir putih dengan lambaian pohon nyiur. Pasir putih di Pantai Pasir Panjang yang terletak di Desa Ngilngof diklaim oleh pemda setempat sebagai paling lembut di dunia. Dalam pengamatan penulis, dibandingkan dengan banyak pantai lain yang pernah penulis temui, pantai-pantai di Kepulauan Kei adalah yang terindah dan alami.
Tanah merah yang subur jarang ditemui di Kepulauan Kei. Oleh karena itu sangat jarang masyarakat Kei mengusahakan tanaman pertanian atau perkebunan kecuali jenis umbi-umbian. Utamanya embal, yaitu sejenis singkong beracun yang kemudian diolah dan menjadi makanan pokok masyarakat setempat. Hampir semua barang kebutuhan pokok, baik berupa beras, sayur-sayuran ataupun buah-buahan didatangkan dari Jawa, Ambon, Makasar atau Papua sehingga barang-barang kebutuhan berharga beberapa kali lipat dibandingkan dengan di tempat asalnya. Akan tetapi di Kepulauan Kei potensi ikan cukup melimpah, dengan struktur pantai yang landai menjadikan daerah pasang surut sangat panjang. Saat surut itulah hasil laut seperti ikan, teripang, kerang lola (trochus niloticus), dan sejenisnya dapat dengan mudah dipanen oleh masyarakat. Sayang semakin hari hasil laut tersebut semakin sulit didapat seiring rusaknya terumbu karang sebagai akibat penggunaan potasium atau bom oleh para nelayan yang difasilitasi oleh para pengusaha ikan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sosial budaya masih sangat kental dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Adat tersebut mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat maupun dengan alam sekitar termasuk laut sebagai sumber pencaharian. Mereka percaya, hidup berbuat baik sesuai hukum adat akan mendapatkan bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui yang akan menghantarkan sampai tujuan sesuai maksud syair tuturan leluhur yang hingga kini masih biasa didendangkan “Taflur Nit ma Itsob Duad, Oooo hee hoar taur, La I O (2X), La I O, Hoar taur, La I entau taur, Nel U Hoar taur, La I O (2X)”.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik pelanggaran pidana maupun perdata diselesaikan melalui mekanisme adat yang ada. Ketaatan masyarakat kepada hukum adat ini dapat dipahami dalam perspektif sosial budaya masyarakat Kei yang mengganggap adanya hubungan religius magis dengan alam sekitarnya. Masyarakat Kei beranggapan penyelesaian terhadap pelanggaran hukum adat dipercaya akan mengembalikan keseimbangan religius magis dengan alam tempat mereka menggantungkan penghidupan yang terganggu sebagai akibat adanya pelanggaran.
Penyelesaian pelanggaran terhadap hukum ini telah terjadi pergeseran seiring munculnya negara modern/hukum modern (positifisme hukum). Namun harus dipahami penyelesaian sengketa perdata di peradilan umum bagi bumiputera (pribumi) tunduk pada hukum adat (Pasal 131 Jo. 163 IS). Oleh karenanya pemahaman terhadap hukum adat yang di kenal dengan Larwul Ngabal mutlak diperlukan dalam penanganan sengketa perdata di Kepulauan Kei agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan rasa keadilan masyarakat (sense of the justice of the people).

FALSAFAH DASAR ADAT KEPULAUAN KEI
Masyarakat patrilinial di Kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. “Vu’ut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur”, artinya “telur dari satu ikan dan satu burung”. Maksudnya mereka percaya bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Sejak leluhur hingga saat ini, pepatah “ain ni ain”, yang berarti “kita semua adalah satu” masih di pegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei. Oleh karena itu walaupun leluhur Suku Kei suka berperang, peperangan tersebut akan cepat selesai setelah jatuhnya beberapa korban.
Falsafah hidup dalam kebersamaan dan keseimbangan dengan alam maupun lingkungan tercermin dari tuturan leluhur yang hingga kini selalu dinasehatkan kepada para anak cucu. Petuah leluhur tersebut diwasiatkan dalam bentuk nyanyian atau peribahasa. Pada intinya adalah hidup dalam suatu tempat/kampung dimana kita makan dan hidup dari tempat itu, maka kita wajib mentaati segala hukum adat agar hukum adat, leluhur dan Allah melindungi kita. Selengkapnya petuah leluhur yang menjadi pokok pandangan hidup masyarakat Kei adalah sebagai berikut :
1. Itdok fo ohoi itmian fo nuhu (kita mendiami/menempati kampung/desa dimana kita hidup dan makan dari alam/tanahnya).
2. Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemiir (kita menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita).
3. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat (kita tetap memikul semua kepentingan kampung/desa kita dengan hukum adatnya).
4. Itwait teblo uban ruran (kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus).
5. Ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang (dengan demikian, barulah hukum adat akan menyayangi/melindungi kita).
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan (sehingga leluhur pun ikut menjaga dan menyayangi kita).
7. Duad enfangnan wuk (dan Allah pun melindungi kita).

TERBENTUKNYA HUKUM LARWUL NGABAL
Larwul Ngabal pada hakikatnya adalah dua hukum yang dipersatukan, yaitu Hukum Larwul dan Hukum Ngabal. Hukum Larwul lahir di Pulau Kei Kecil yang ditandai dengan disembelihnya seekor kerbau milik seorang puteri bernama Dit Sak Mas. Dikisahkan dari tuturan leluhur, di sebuah tempat bernama Elaar telah diadakan pertemuan yang diikuti oleh sembilan kelompok. Pertemuan tersebut dipelopori oleh kakak kandung tertua Dit Sak Mas yang bernama Teb Tut. Agenda pertemuan adalah mencanangkan hukum sebagai respon keprihatinan terhadap dirampasnya barang-barang milik Dit Sak Mas. Kejadiannya adalah ketika Dit Sak Mas dalam perjalanan dari Ohoivuur menuju Danar untuk menjumpai calon suaminya yang bernama Arnuhu, barang-barangnya habis dirampas oleh pembegal. Atas kegagalan tersebut Dit Sak Mas mengulang perjalanan dengan terlebih dahulu meletakkan daun kelapa putih (janur kuning) pada barang bawaannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Penandaan barang dengan daun kelapa ini kemudian dikenal dengan sebutan sasi (Bahasa Kei : Yot/Yutut). Adat sasi sampai kini masih tetap lestari meskipun sudah mengalami perkembangan dan sering disalahgunakan. Sasi adalah larangan untuk melindungi suatu tempat/barang atau suatu hasil tertentu yang mengikat orang lain/masyarakat untuk mentaatinya.
Hukum yang dicanangkan pada pertemuan sembilan kelompok tersebut kemudian dikenal sebagai Hukum Larwul. Dalam Bahasa Kei “lar” artinya darah dan “wul” artinya merah. Pemilihan istilah larwul ini tidak dapat dilepaskan dari darah kerbau milik Dit Sak Mas yang disembelih pada waktu itu. Peristiwa penyembelihan ini merupakan simbol berlakunya Hukum Larwul. Semua bagian tubuh kerbau yang disembelih dibagikan kepada sembilan kelompok yang hadir pada waktu itu. Sembilan kelompok itu disebut Ur Siu (Rumpun Sembilan).
Di Pulau Kei Besar pada suatu tempat bernama Ler Ohoilim telah dipotong seekor ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak dari Bali dan kemudian potongan-potongan tubuh ikan paus dibagikan kepada lima kelompok (Rumpun Lima/Loor Lim) yang hadir pada saat itu. Pemotongan ikan paus dilakukan oleh Jangra, yaitu saudara ayah Dit Sak Mas yang bernama Kasdew. Baik Jangra maupun Kasdew adalah pendatang dari Pulau Bali yang kemudian menetap di Kepulauan Kei. Selanjutnya sejarah adat di Kepulauan Kei banyak terpengaruh oleh budaya Bali yang dibawa oleh kedua orang tersebut.
Peristiwa di Ler Ohoilim ini menandai berlakunya Hukum Ngabal, “nga” artinya tombak sedangkan “bal” adalah singkatan dari Bali. Maksudnya adalah hukum tombak dari Pulau Bali karena berlakunya ditandai dengan dibunuhnya ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak yang dibawa dari Pulau Bali oleh Jangra.
Baik Rumpun Sembilan (Ur Siu) yang lahir di Elaar maupun Rumpun Lima (Lor Lim) yang lahir di Ler Ohoilim selalu saling berperang. Oleh karena itu muncul juga satu kelompok yang tidak membela salah satu pihak yang bertikai (non blok) yang disebut dengan Loor Labai. Pada akhirnya kedua kelompok yang bertikai dapat berdamai dan bersepakat menggunakan Hukum Larwul dan Hukum Ngabal secara berdampingan.
Hukum Larwul berisi 4 pasal yang isinya adalah kaidah-kaidah hukum pidana sedangkan Hukum Ngabal berisi 3 pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum kesusilaan dan hukum perdata. Dalam Hukum Larwul Ngabal, Hukum Larwul menempati Pasal 1 s/d 4 sedangkan Hukum Ngabal menempati Pasal 5 s/d 7. Isi selengkapnya Hukum Larwul Ngabal adalah sebagai berikut :
1. Uud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada tengkuk kita). Hal ini adalah penghargaan terhadap pemerintah dan harus dipastikan bahwa pemerintahan adalah untuk melindungi dan menjamin kehidupan masyarakat.
2. Lelad ain fo mahiling (leher kita dihormati, diluhurkan). Maksudnya adalah kehidupan bersifat luhur dan mulia sehingga hidup seseorang harus dipelihara, tidak boleh diganggu.
3. Uil nit enwil rumud (kulit dari tanah membungkus badan kita). Kaidah ini adalah penghargaan terhadap kehormatan, nama baik/harga diri manusia. Oleh karena itu kehormatan orang lain harus diakui dan tidak boleh dicemarkan.
4. Lar nakmot na rumud (darah tertutup dalam tubuh). Tubuh manusia harus dimuliakan sehingga tidak diperkenankan melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Perlakuan sewenang-wenang dilarang, apalagi sampai menumpahkan darah dengan melukai orang lain atau diri sendiri.
5. Rek fo kilmutun (perkawinan hendaklah pada tempatnya agar tetap suci dan murni). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap kehidupan rumah tangga orang lain. Rumah tangga harus dihormati, tidak boleh diganggu gugat dan tidak boleh ada orang ketiga karena perkawinan adalah kehendak Allah.
6. Morjain fo mahiling (tempat untuk perempuan dihormati, diluhurkan). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap perempuan sebagai mahluk yang paling dihormati/dihargai. Penjabarannya adalah pelarangan terhadap segala bentuk tindakan asusila yang mengusik harkat dan martabat perempuan.
7. Hira i ni fo i ni, it did fo it did (milik orang tetap milik mereka, milik kita tetap milik kita). Ini adalah kaidah dasar yang menjamin dan mengakui pemilikan barang oleh orang lain.
Atas dasar ketujuh kaidah dasar tersebut, dijabarkan lebih kongkrit dalam larangan/pelanggaran-pelanggaran dalam hukum adat yang isinya berurutan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran sebagai berikut :
I. Hukum Nev Nev, adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan (hukum pidana). Isinya berupa penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1 s/d 4 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) :
1. Muur nai, subantai (mengata-ngatai, menyumpahi).
2. Hebang haung atau haung hebang (bererencana dan berniat jahat).
3. Rasung smu-rodang daid (mencelakakan dengan jalan ilmu hitam, doti, dll)
4. Kev bangil atau ov bangil (memukul, meninju).
5. Tev hai-sung tawat (melempar, menikam, menusuk).
6. Fedan na, tetwanga (membunuh, memotong, memancung).
7. Tivak luduk fo vavain (menguburkan, menenggelamkan hidup-hidup).
II. Hukum Hanilit, adalah hukum yang mengatur mengenai kesusilaan atau kesopanan (hukum kesusilaan). Isinya berupa penjabaran dari Pasal 5 s/d 6 Larwul Ngabal kedalam tujuh tingkat pelanggaran :
1. Sis af, sivar usbuuk (memanggil dengan melambaikan tangan, mendesis atau bersiul).
2. Kufuk matko (bermain mata).
3. Kis kafir, temar u mur (mengorek dengan cara mencubit atau menyenggol dengan busur panah bagian muka maupun belakang).
4. En a lebak, en humak voan (meraih, memeluk, mencium).
5. Enwail, sig baraung enkom lawur (membuka penutup dan merusakkannya).
6. Enwel ev yan (hamil di luar nikah).
7. Ftu fweer (membawa lari atau kawin lari).
Dari tujuh pelanggaran (sasa sor fit) tersebut, masih terdapat tiga sasa sor fit dalam Hukum Hanilit, tetapi karena beratnya ancaman hukuman yang diancamkan, maka penyelesaiannya dimasukkan dalam Hukum Nev Nev, yaitu :
1. Rehe wat tee (merampas isteri orang lain).
2. Itwail ngutun-enan, itlawur umat hoan (membuka keluar penutup di atas dan bawah, merusak isteri orang lain).
3. Dos sa te’en yanat te urwair tunan (kejahatan persetubuhan sedarah/sekandung).
III. Hukum Hawear Balwirin, adalah hukum yang dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak kepemilikan yang dilanggar oleh orang lain (hukum perdata). Berisi penjabaran dari Pasal 7 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) yaitu:
1. Faryatad sa (menginginkan barang milik orang secara tidak syah).
2. Etkulik fanaub atau fatub afa bor-bor (menyimpan barang curian).
3. It bor (mencuri).
4. Tefen it na il umat i ni afa it liik ke te itfanaub (tidak mau mengembalikan barang orang lain yang ditemukan atau disimpan secara sengaja maupun tidak sengaja).
5. Taan gogom atau taan rorom/rasum/ratsun (tidak bekerja, hanya makan dengan cara mencuri saja).
6. It lawur kom i ra i ni afa (merusakan atau membinasakan barang orang lain).
7. Et na ded vut raut fo en fasus te enfakuis umat lian (mengambil atau melakukan apa saja dengan berbagai cara untuk menyusahkan orang lain).
Penyelesaian terhadap pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh kepala soa (kepala dusun), orang kay (kepala desa) atau raja (kepala wilayah adat) secara berjenjang apabila pada tingkatan yang paling rendah belum dapat menyelesaikan persoalan. Akan tetapi semuanya tetap harus melalui sidang majelis kerapatan adat (dewan seniri) bersama seluruh staf kerapatan adat tersebut. Pada sidang tersebut akan ditentukan sanksi bagi pelanggar sesuai berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi terberat adalah terhadap pelanggaran yang mengakibatkan kematian, yaitu pelanggar akan ditenggelamkan hidup-hidup kedalam laut. Namun sebelum prosesi hukuman dijalankan akan ditawarkan kepada masyarakat apakah ada yang akan menebus si pelanggar. Tebusan ini disebut “entuv tuel na ai ngam ensak”, tebusannya berupa benda-benda adat seperti gong, lela (meriam) atau emas adat yang jumlahnya diperhitungkan sebagai pengganti bagian-bagian dari tubuh si pelanggar. Apabila ada yang menebus, maka pelanggar tidak ditenggelamkan tetapi yang ditenggelamkan adalah tebusannya. Sanksi adat terberat ini kini telah lama ditinggalkan dan digantikan dengan hukuman yang diputuskan oleh peradilan umum.

WILAYAH DAN PEMERINTAHAN ADAT
Di Kepulauan Kei terbagi dalam 22 ratschaap (wilayah adat) dimana masing-masing ratschaap dipimpin oleh seorang rat atau raja. Setiap ratschaap masuk dalam salah satu dari tiga persekutuan besar yaitu Ur Siu (Rumpun Sembilan), Loor Lim (Rumpun Lima) dan Loor Labai (Rumpun Penengah). Tercatat sepuluh ratschaap tergabung dalam Ur siu, sepuluh ratschaap berikutnya tergabung dalam Loor Lim dan sisanya dua ratschaap tergabung dalam Loor Labai.
Setiap ratschaap terdiri dari satu atau beberapa desa (ohoi) yang mempunyai hubungan erat dalam segi teritorial atau geneologis. Ohoi merupakan gabungan beberapa dusun (soa) yang dipimpin oleh orang kay (kepala desa). Setiap dusun atau soa dipimpin oleh seorang kepala soa (kepala dusun).
Berdasarkan ceritera para leluhur, para pendatang dari luar Kepulauan Kei datang bergabung dengan masyarakat asli. Seiring semakin banyaknya penduduk di suatu tempat, maka dirasakan perlunya membuat pemerintahan yang dapat menaungi seluruh masyarakat tersebut. Para pendatang dianggap lebih pandai dan berani sehingga ditempatkan sebagai pemimpin yang disebut sebagai orang kay (kepala desa) sedangkan penduduk asli menjadi menjadi tuan tan/toran nuhu (tuan tanah) karena dianggap sangat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan wilayahnya. Ikatan persaudaraan antara mereka dilakukan dengan jalan mengiris tangan dan meminum darahnya sebagai simbol ikatan persaudaraan. Konsekuensinya perkawinan antara mereka diharamkan. Hal ini merupakan asal mula pembagian kasta dalam masyarakat Kei. Kasta “mel-mel” adalah kasta tertinggi untuk para pendatang yang kemudian menjadi pemimpin (bangsawan), dibawahnya terdapat kasta “ren-ren” atau kasta menengah yang terdiri dari penduduk asli dan kasta “iri-iri” adalah kasta paling bawah. Kasta “iri-iri” adalah kasta untuk para budak yang berasal dari para tahanan yang kalah dalam peperangan atau para terpidana yang dihukum mati karena melakukan pelanggaran terhadap hukum adat namun lolos dari hukuman mati karena ada yang menebusnya.
Jabatan-jabatan dalam pemerintahan adat dibagikan secara merata kepada semua faam (marga) asli yang membentuk pemerintahan tersebut. Selanjutnya jabatan itu akan dilanjutkan oleh keturunan lurus dalam garis laki-laki dengan prioritas pada putra tertua. Berikut diuraikan jabatan-jabatan dalam adat Kei sebagai berikut :
1. Rat atau Raja adalah sebagai kepala pemerintahan dalam suatu wilayah ratschaap. Tugasnya diantaranya adalah mengkoordinir tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan oleh orang kay, menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang kay termasuk pelanggaran-pelanggaran terhadap adat serta menjaga dan mempertahankan hukum adat.
2. Kapitan (Akbitan) dan Mayor adalah jabatan untuk panglima perang. Tugasnya membantu raja dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hukum adat terutama dalam soal peperangan.
3. Orang Kay (Kepala Desa) adalah kepala pemerintahan di tingkat ohoi yang membawahi beberapa dusun. Orang kay bertugas memimpin penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayahnya dan mengatur serta menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan adat.
4. Tuan Tan/Toran Nuhu adalah tuan tanah dengan tugas memperhatikan batas-batas tanah. Peranan tuan tan akan terlihat dalam pembukaan hutan, menanam atau memanen hasil bumi ataupun hasil laut. Walaupun nama jabatannya adalah tuan tan, akan tetapi tuan tan bukanlah pemilik tanah. Tuan tan tidak berhak menjual atau menyerahkan tanah kepada orang lain apalagi untuk kepentingan pribadi. Menurut pengamatan penulis, selama ini sering terjadi salah persepsi dimana tuan tan dianggap sebagai orang yang memiliki semua tanah dalam suatu desa. Apabila persepsi ini dibenarkan oleh hakim dalam memutus perkara tentu akan mengakibatkan konflik horisontal.
5. Dir’u, Ham Wang atau Wawat adalah pemuka yang sangat ahli berbicara dan dianggap adil dalam melakukan pembagian. Nasehat dan pengalamannya sangat didengar untuk kebaikan bersama.
6. Dewan Seniri adalah dewan perwakilan yang beranggotakan kepala-kepala faam (marga). Tugasnya memberikan nasehat-nasehat mengenai pemerintahan kepada orang kay.
7. Mitu Duan (Pemuka Berhala) bertugas sebagai pemimpin upacara-upacara adat, memimpin doa dan persembahan (sesaji) maupun memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat.
8. Marinyo adalah jabatan bagi pesuruh kampung yang bertugas mengumumkan perintah atasan kepada masyarakat.
9. Kepala Soa (Kepala Dusun) adalah jabatan yang hampir sama dengan jabatan orang kay akan tetapi terbatas dalam wilayah dusun. Kepala soa membawahi satu atau beberapa marga, tugasnya meliputi menjaga batas-batas desa dari penyerobotan tanah yang dilakukan oleh desa atau dusun lainnya.
10. Kepala Faam merupakan jabatan kepala marga sehingga tugasnya banyak bersifat intern marga. Tugasnya diantaranya adalah memimpin marga melakukan gotong-royong (maren), memimpin musyawarah, dan dapat melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama marga yang didasarkan kesepakatan musyawarah dengan semua anggota marga.

PERKAWINAN
Masyarakat Suku Kei adalah masyarakat patrilinial, garis keturunan didasarkan pada garis laki-laki. Sesudah seorang perempuan menikah, maka ia telah beralih mengikuti marga suaminya, begitu juga anak-anak yang dilahirkannya. Oleh kerena itu, tidak mengherankan apabila dalam hal pewarisan, anak perempuan hanya mempunyai “hak makan” karena seorang perempuan akan “kawin keluar” dan mengikuti marga suaminya.
Mas kawin yang diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan dianggap sebagai penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan atau membesarkan mempelai perempuan. Dalam Bahasa Kei (evav) disebut “envav renan ni fiit” yang artinya memikul beban ibunya. Mas kawin yang telah ditentukan kadang dianggap sangat tinggi sehingga memberatkan pihak keluarga mempelai laki-laki. Lazimnya dalam keadaan demikian pihak keluarga mempelai perempuan memberikan balasan dengan memberikan sandang pangan, perhiasan, alat-alat rumah tangga atau dapat juga berupa tanah. Hadiah balasan ini ditanggung oleh keluarga mempelai perempuan dan dinikmati oleh seluruh keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan.
Walaupun perkawinan berhukum bapak (patrilinial), namun dalam adat evav dikenal istilah “kawin abdi” yang dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut :
1. Navdu Vat Vilin (bertuan karena mas kawin adat), yaitu walaupun telah melangsungkan perkawinan namun mempelai laki-laki belum dapat memboyong mempelai perempuan kedalam keluarga besarnya dikarenakan belum dipenuhinya mas kawin yang ditentukan dalam adat. Mempelai laki-laki tetap tinggal di rumah mempelai wanita, akan tetapi istri dan anaknya tetap mengikuti marganya (mempelai laki-laki).
2. Kawin Masuk Marga Isteri, yaitu mempelai laki-laki masuk menjadi marga mempelai perempuan sehingga anak-anak yang terlahir akan menggunakan marga istri (ibu). Hal ini biasanya terjadi karena perkawinan tidak disetujui oleh orang tua mempelai laki-laki. Tidak setujunya orang tua mempelai laki-laki misalnya karena adanya hubungan kekerabatan pada zaman dahulu yang disebut dengan tea bel (pela) atau bisa juga karena adanya perbedaan kasta.
3. Al Uha/Endir Iluk Uha/Endir Ai Wa’ar Ratan (menjadi penerus keturunan yang berdiri di atas akar kayu), yaitu dalam perkawinan yang terjadi mempelai laki-laki secara suka rela berganti memakai marga mempelai perempuan. Biasanya terjadi dalam sebuah keluarga yang kaya, namun tidak mempunyai anak laki-laki sehingga untuk meneruskan usaha, maka dicarilah seorang laki-laki yang berasal dari marga lain tetapi masih mempunyai hubungan darah untuk secara suka rela menikah dengan anak perempuannya dan berganti marga dengan cara menggunakan marga mempelai perempuan di belakang namanya.

SISTEM PEMILIKAN TANAH DAN LAUT
Tanah dan laut di Kepulauan Kei pada dasarnya telah dibagi habis pemilikannya kepada seluruh warga masyarakat dalam satuan wilayah petuanan. Masih eksisnya hak petuanan tersebut berimplikasi pada penguasaan tanah selama bertahun-tahun atau beberapa generasi belum dapat diberikan justifikasi sebagai pemilik tanah tersebut, karena orang yang bukan bagian dari pemilik petuanan dapat saja mengelola tanah atas izin pemiliknya, misalnya lahan daur ulang (kait) yang setelah tidak digunakan oleh pemiliknya akan ditinggalkan dan kemudian dapat dikelola oleh orang lain. Pengelolaan tanah oleh bukan pemilik tersebut pada akhirnya dapat berlangsung terus-menerus. Selaras dengan nilai ekonomis tanah yang meningkat munculah sengketa antara pengelola dengan pemiliknya. Oleh karenanya untuk mengetahui siapakah pemilik tanah, maka perlu digali sejarah pemilikan tanah ataupun asal usul pengelolaan tanah. Setiap sejarah adat mengenai pemilikan tanah oleh suatu marga/desa selalu mendapatkan pengakuan dari marga/desa lain yang petuanannya berbatasan.
Untuk memastikan pemilik tanah petuanan dapat dilihat dari wasiat, syair atau nyanyian yang dituturkan oleh leluhur. Dapat juga dilihat dari bukti fisik yang masih berdiri seperti adanya woma, yaitu suatu tempat yang dikelilingi tembok terbuat dari tumpukan batu. Woma secara harfiah berarti adalah pusat kampung, biasanya marga yang pertama kali menetap di suatu tempat akan mendirikan woma di tempat yang sulit dijangkau supaya efektif sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh ataupun binatang buas. Batas-batas tanah petuanan biasanya berupa puncak/kaki bukit, lembah, batu besar, tumpukan batu, pohon besar atau aliran sungai.
Pembagian pemilikan tanah dan laut kepada seluruh warga masyarakat adat dalam satuan wilayah petuanan adalah sebagai berikut :
a. Petuanan Umum Desa/Kampung yang disebut utan/bilan/ohoinuhu, yakni wilayah darat yang menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat desa/kampung yang bersangkutan. Wilayah petuanan ini mencakup seluruh tanah desa/kampung, mulai dari kawasan pusat pemukiman atau pusat kampung/desa (ohoi) sampai kawasan hutan primair (warain vaveon) disekitarnya, termasuk luas kawasan laut dari garis batas daratan (ruat met soin) sampai kebatas kawasan laut bebas (tahit ni wear) yang ditarik sebagai suatu garis lurus dari tapal batas petuanan darat. Dengan demikian, luas suatu wilayah petuanan umum desa/kampung di Kei sama dengan luas total tanah kampung/desa yang bersangkutan ditambah luas kawasan laut dihadapannya.
b. Dalam kawasan Petuanan Umum Desa/Kampung tersebut, terdapat Petuanan Marga yang disebut rahan faam atau buuk faam, yakni kawasan yang dimiliki secara tetap oleh satu marga (soa) warga asli masyarakat adat desa/kampung yang bersangkutan. Setiap marga dalam satu kampung/desa memiliki petuanannya masing-masing, sebagai bagian dari keseluruhan petuanan umum desa/kampung yang bersangkutan. Petuanan marga ini hanya mencakup kawasan darat, mulai dari pusat pemukiman (ohoi) sampai ladang daur ulang (kait). Artinya, pemilikan lahan secara tetap oleh suatu marga hanya diperbolehkan untuk keperluan perumahan dan kebun dalam kampung (ohoi dan ohoi murin), kebun luar kampung/tepi kampung (rok) serta ladang daur ulang (kait). Adapun kawasan hutan produksi tetap (warain), hutan primair (waraian vaweon) dan dusun sagu (meon) tetap menjadi milik komunal (ulayat bersama) seluruh warga desa/kampung yang bersangkutan, tidak boleh ada pemilikan marga, apalagi pemilikan pribadi. Demikian pula halnya dengan kawasan laut, seluruhnya merupakan petuanan umum desa/kampung yang tidak boleh dimiliki oleh satu marga atau pribadi tertentu.
c. Dalam kawasan petuanan marga tersebut, barulah terdapat petuanan keluarga pati (nutun riin matan), yakni lahan yang dimiliki secara tetap oleh suatu rumah-tangga anggota marga yang bersangkutan. Umumnya hanya terbatas untuk perumahan dalam kampung (ohoi) dan kebun dalam kampung (ohoi murin), sementara kawasan kebun luar/tepi kampung (rok) dan ladang daur ulang (kait) tetaplah merupakan petuanan marga.
Pengecualian terhadap sistem di atas dapat saja terjadi, misalnya adanya tanah yang telah diberikan kepada suatu marga sebagai imbalan jasa karena membantu dalam peperangan. Pada zaman dahulu sering terjadi pihak yang menang perang dalam suasana senang memberikan sebidang tanah kepada pihak yang membantunya. Dalam peperangan terdapat juga sejarah berupa pihak yang kalah perang menunjuk sebagian tanahnya untuk menjadi “hak makan” bagi pihak yang menang perang. Pemilik tanah tetap berada pada desa yang kalah perang, hanya orang dari desa yang menang perang bebas untuk mengambil hasil tanpa gangguan dari pihak pemilik petuanan. Pengecualian lain terjadi dalam hal sebagian kecil dari tanah petuanan desa diberikan kepada desa lain untuk tempat persobatan atau tempat persinggahan/istirahat apabila mereka bepergian atau berlayar.
Perampasan hak milik atas tanah sering menimbulkan peperangan atau pembunuhan. Amanat leluhur “mel yanan ro nmat, ne mas tom ro nmam, nan bail yanad urad fel nuhu wahan soen” yang artinya “anak bangsawan gugur dan mas pusaka dikorbankan untuk membela sanak saudari dan batas tanah mempertahankan hak milik tanah/meti (laut yang kering ketika surut)”. Kekacauan tersebut kemudian akan diselesaikan oleh para pemangku adat dan apabila tidak dapat diselesaikan, maka akan dilakukan sumpah “makan tanah”. Sumpah tersebut dilakukan dengan cara mengambil sedikit tanah yang disengketakan kemudian dicampur dengan air laut dan air tawar, ditambah sedikit serbuk emas. Selanjutnya tetua adat akan mengambil sumpah, baru kemudian air campuran tersebut diminumkan. Sumpah demikian dipercaya mempunyai konsekuensi mistik sehingga sangat ditakuti oleh orang yang bersengketa tanpa dasar hak.

PENUTUP
Hukum Larwul Ngabal telah mempersatukan dan mendamaikan masyarakat Kei sejak beratus-ratus tahun yang lalu dari segala bentuk perpecahan dan peperangan. Bagi masyarakat Kei, agama boleh berbeda tetapi tetap dipersatukan oleh satu hukum adat. Terbukti dari konflik agama pada tahun 1999, tidak kurang dari 200 jiwa meninggal, ratusan lainnya menderita luka berat ataupun ringan dan puluhan desa nyaris rata dengan tanah, tetapi dengan pola rekonsiliasi yang mengedepankan hukum adat, konflik tersebut segera berakhir. Saat ini suasana sangat kondusif, berbeda dengan daerah-daerah lain yang hingga bertahun-tahun lamanya masih terdengar berita konflik yang tidak kunjung selesai.
Penghargaan masyarakat Kei terhadap hukum adat dapat dipahami sebagai kongkretisasi nilai-nilai, sikap, pandangan maupun paradigma masyarakat terhadap hidup dan kehidupan yang terbentuk dan berkembang selama beratus-ratus tahun. Hukum demikian dapat dipahami sebagai “a great antrhrpological document” sehingga merupakan hukum responsif karena sebagai cerminan kebutuhan dan budaya masyarakat yang bersangkutan.
Sayang, seiring dengan pardigma positifisme dalam pembangunan hukum, keberadaan hukum adat selama ini banyak terpinggirkan. Lembaga-lembaga lokal otonom yang mendukung berfungsinya proses sosial banyak digantikan dengan lembaga-lembaga baru yang bukan merupakan cerminan dari basis sosial setempat. Berbagai undang-undang dilahirkan dengan keyakinan hanya hukum positiflah yang mampu mencapai tujuan dari hukum, yaitu kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Hal ini terlihat dari UU No. 5/1960 yang hanya memungkinkan hukum adat berlaku namun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan nasional. UU No. 5/1979 juga adalah bukti nyata peran negara dalam memberangus hukum adat dengan cara menyeragamkan pemerintahan desa sehingga tidak mempunyai akar sosiologis masyarakat adat setempat. Namun kini dengan keberadaan UU No. 22/1999 Jo. UU No. 32/2004 dapat dianggap sebagai kepedulian terhadap the living law karena adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga lokal otonom (misalnya di Kepulauan Kei : Ohoi) walaupun masih dengan batasan-batasan yang sangat ketat. Diharapkan hukum adat dapat semakin eksis dan berkembang serta dapat menjadi sumber nilai-nilai yang mendasari pembentukan hukum nasional.

Catatan :
Hak petuanan selalu berkorelasi dengan intensitas hubungan antar individu dalam masyarakat. Semakin maju dan bebas (rasional-individual) masyarakat membawa konsekuensi hak petuanan yang bersifat komunalistik religius akan melemah. Olehkarenanya walaupun hak petuanan masih eksis, tetapi telah banyak juga tanah-tanah yang menjadi milik pribadi sebagai akibat jual-beli, hibah, tukar-menukar dan bahkan pewarisan. Konsekuensinya dalam memeriksa sengketa tanah perlu diteliti eksistensi tanah petuanan itu sendiri, sejarah tanah maupun asal usul pengelolaan tanah.

Gunung Sugih, 5 Maret 2009
Penulis,

Hasanudin

DAFTAR BACAAN

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta : Djambatan, 1995.
Imam Sudiat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta : Liberty, 2000.

J.P. Rahail, Larwul Ngabal, Jakarta : Yayasan Sejati, 1993.

--------, Batbatang Fidroa Fidnangan, Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kepulauan Kei, Jakarta : Yayasan Sejati, 1995.

P.H. Renyaan, Adat Istiadat Evav, Tual : SMP Budi Mulia Langgur, tanpa tahun.

P.M. Laksono & Roem Topatimasang (Penyunting), Ken Sa Faak, Benih-Benih Perdamaian Di Kepulauan Kei, Tual-Yogyakarta : Nen Mas Il-Insist Press, 2004.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007.

Tim Peneliti FH Universitas Pattimura, Sistem Pemerintahan Adat di Kabupaten Maluku Tenggara, Hasil Penelitian, Oktober 2005.

HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN DAN TINDAK PIDANA PERIKANAN


A. PENGANTAR
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun pertahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing .
Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. PenguTambah Gambarnaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007. Kini pengadilan perikanan telah terbentuk lebih dari satu tahun lamanya.
Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi , maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 105 UU Perikanan.
Makalah ini akan menganalisis mengenai kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dan tindak pidana perikanan dalam UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana .

B. HUKUM ACARA PENGADILAN PERIKANAN
Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan.
Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, setelah empat tahun UU perikanan berlaku, kiranya semakin tampak berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :
Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan. Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Dari segi teknik perundang-undangan, frasa ”diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri .
Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.
Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL, sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL .
Keempat, persidangan pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal 78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim ad hoc perikanan.
Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.
Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.
Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu 30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi kerugian negara semakin tidak terhindarkan.

C. FORMULASI TINDAK PIDANA PERIKANAN
Sebagaimana lazimnya dalam kebijakan formulasi tindak pidana, dalam UU Perikanan telah diformulasikan dengan memperhatikan 3 (tiga) substansi pokok dari hukum pidana. Permasalahan pokok tersebut adalah : pertama, perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau disingkat dengan masalah “tindak pidana”, kedua, syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan” dan tiga, sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah pidana.
1. Rumusan Tindak Pidana
Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 adalah kejahatan sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87 mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan. Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict) dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. Hal ini berbeda dengan kejahatan yang dalam pemidanaannya mensyaratkan adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) .
2. Rumusan Pertanggungjawaban Pidana
Perkembangan hukum pidana telah menganggap bahwa korporasi adalah subyek hukum dalam hukum pidana sehingga korporasi dapat melakukan tindak pidana sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam penerapannya ini dimungkinkan walaupun KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon), yaitu dengan adanya Pasal 103 KUHP sebagai pasal jembatan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus.
Dalam UU Perikanan telah diakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana. Akan tetapi korporasi tidak ditentukan dapat dijatuhi pidana, karena yang dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya (Pasal 101) . Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup menjadi represi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi , yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah :
1) badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau
2) mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian; atau
3) kedua-duanya (a dan b).
3. Rumusan Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam UU Perikanan dirumuskan secara kumulatif kecuali rumusan pelanggaran pada Pasal 97 dan Pasal 100 yang hanya merumuskan pidana denda. Pada perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran lainnya, yaitu Pasal 87 ayat (1) dirumuskan sanksi pidananya adalah penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,- . Perumusan demikian terkesan tidak membeda-bedakan antara kejahatan dan pelanggaran, karena pada umumnya pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau pidana yang lebih ringan dari kejahatan .
Terhadap pelaku tindak pidana warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI tidak dapat dijatuhi pidana penjara kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 102) . Ketentuan ini paralel dengan Pasal 73 ayat (3) United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang tidak membenarkan peraturan negara pantai melaksanakan hukuman penjara (imprisonment) atau hukuman badan (corporal punishment), jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara bersangkutan. Kerancuannya adalah UU Perikanan tidak mengatur pengganti apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa. Penggunaan terobosan dengan melakukan perampasan kapal sebagai pengganti denda tidak relevan, mengingat barang bukti telah ditentukan dapat dirampas untuk negara (Pasal 104 ayat (2)). Dalam praktik pengganti denda tersebut menggunakan dasar Pasal 30 KUHP yaitu pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimal 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus).

D. PENUTUP
Pemberlakuan UU Perikanan sudah lebih dari empat tahun dan pengadilan perikanan juga sudah lebih dari satu tahun dioperasionalkan. Akan tetapi pembaharuan hukum pidana harus selalu dilakukan mengingat ditemukannya kelemahan-kelamahan mendasar pada UU Perikanan. Kelemahan-kelemahan yang berasal dari UU Perikanan akan menyulitkan dalam aplikasi mapun eksekusinya sehingga menghambat efektifitas dalam penegakannya.
Revisi terhadap UU Perikanan sangat diperlukan untuk meminimalisir rumusan-rumusan tindak pidana perikanan yang mengandung kelemahan-kelemahan. Hasil revisi tersebut segera disosialisasikan kepada penegak hukum dan masyarakat agar menumbuhkan kesadaran hukum dan menciptakan partisipasi masyarakat yang menentukan efektifitas dalam penanggulangan tindak pidana perikanan.
Apabila keberadaan pengadilan perikanan akan dipertahankan, maka perlu diatur tersendiri dalam undang-undang. Hukum Acara Pengadilan Perikanan harus sejalan dengan KUHAP dan memperhatikan kondisi riil di lapangan. Sarana dan prasarana dalam penegakan hukum juga harus diadakan, dilengkapi dan ditingkatkan.

Penulis,

Hasanudin

Catatan :
Makalah dibuat sebelum diundangkannya Undang-undang Pengadilan Perikanan Terbaru


DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti 1998.

------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Citra Adiya Bakti, 2003.

K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Ghalia Indonesia : Jakarta, 1983.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2002.

Muchsin, Menyongsong Kehadiran Pengadilan Perikanan, Jakarta : Varia Peradilan tahun XXI No. 247 Juni 2006.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto : Semarang, 1990.

www.indonesia.go.id, 26 Juli 2006.

Minggu, 13 Juni 2010

KOMENTAR TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006

A. PENDAHULUAN
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase akan memberikan legalitas bagi BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Dalam Perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006 telah memperjelas perlunya perjanjian arbitase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau perjanjian tertulis yang dibuat setelah timbul sengketa sebagaiamana dimakud dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan tidak adanya klausula arbitrase maka BANI tidak mempunyai kompetensi absolut untuk menyelesaikannya sehingga pelanggaran terhadap hal itu memungkinkan para pihak untuk meminta pembatalannya kepada pengadilan negeri.

B. LEGALITAS PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE OLEH PENGADILAN
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006 telah dibatalkan putusan arbitrase dari BANI Perwakilan Surabaya No. 15/ARB/BANI JATIM/III/2004 tanggal 19 Agustus 2004. Pemohon mengajukan pembatalan putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikarenakan termohon arbitrase yaitu Yemen Airways berkantor perwakilan di Jakarta Selatan. Kewenangan relatif dai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan didasarkan pada UU No. 30 Tahun 1999 yang merupakan lex specialis dari ketentuan Pasal 118 HIR yang merupakan lex generalis.
Legalitas pembatalan putusan arbitrase adalah Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yang mensyaratkan antara lain :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c. Putusan yang diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Perkataan antara lain dalam pasal di atas menunjukkan masih adanya alasan yang dapat digunakan untuk memohon pembatalan putusan arbitrase diluar yang ditentukan dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Dalam hal ini pemohon memohon pembatatalan dengan alasan BANI Perwakilan Surabaya tidak mempunyai kompetensi absolut untuk menyelsaikan sengketa para pihak dikarenakan tidak adanya perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 2009.
Dalam proses persidangan yang diajukan kepada kepada pengadilan negeri atas dasar Pasal 72 UU No. 30 Tahun 1999, ternyata terbukti tidak pernah ada klausula arbitrase diantara para pihak sehingga secara yuridis adalah tepat apabila dikatakan BANI Perwakilan Surabaya tidak mempunyai kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak. Sengketa yang terjadi antara pemohon dan termohon menurut Pasal 24 Appointment of General Sales Agent (Passenggers) tanggal 29 Oktober 2001 maupun Pasal 23 Appointment og General Sales Agent (Cargo) adalah :
“Arbitration
This Agreement shall in all respect be interpreted in accordance with the laws of the Republic of Yemen”
Dari rumusan tersebut jelas terlihat bahwa penyelesaian sengketa yang timbul berdasarkan perjanjian-perjanjian itu harus diselesaikan menurut hukum Republik Yaman, dan karenanya BANI Perwakilan Surabaya tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara pemohon dengan termohon.
Oleh karena itu Putusan Pengadilan Jakarta Selatan No. 254/Pdt.P/2004/PN Jak. Sel. Tanggal 6 Januari 2005 yang kemudian dimohonkan banding oleh termohon kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung dengan putusannya No. 03/Arb.Btl/2005tanggal 17 Mei 2006 telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai dibatalkannya putusan arbitrase dari BANI Perwakilan Surabaya No. 15/ARB/BANI JATIM/III/2004 tanggal 19 Agustus 2004 adalah telah tepat secara yuridis.

Senin, 03 Mei 2010

KARAKTERISTIK KORBAN PADA KEJAHATAN KORPORASI TRANSNASIONAL

A. PENGANTAR
Globalisasi telah mengakibatkan batas-batas negara semakin bias (borderless state) sehingga mengakibatkan saling interdependensi dan interkoneksi antar negara maupun antara individu. Saling keterkaitain itu memberikan dampak positif memberikan kemudahan-kemudahan, akan tetapi juga berdampak negatif seperti berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal.
Fenomena berbisnis dengan menggunakan korporasi juga mengakibatkan kejahatan-kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal. Bahkan terdapat juga kejahatan-kejahatan yang sangat kompleks yang tidak terbayangkan sebelumnya sebagai akibat dari kegiatan korporasi transnasional yang bersifat lintas negara.
Sebagai kejahatan yang tidak lagi bersifat konvensional sudah barang tentu kejahatan korporasi mengakibatkan kerugian korban yang sangat besar dan kompleks apabila dibandingkan dengan korban pada kejahatan konvensional. Akan tetapi kajian mengenai korban ini masih sedikit, padahal salah satu dasar kenapa suatu korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana adalah didasarkan pada kerugian korban. Dengan demikian, maka korban pada kejahatan korporasi harus mendapatkan perhatian serius mengingat keadilan di samping diukur dari pelaku dan perbuatan juga diukur dari korban (daad-dader-victim).
B. PEMBAHASAN
Berusaha secara individual dalam trend global saat ini dirasa kurang menjamin terkumpulnya modal sehingga pengembangan korporasi lebih menjamin terkumpulnya modal yang berguna bagi penguasaan pasar (market). Dengan modal yang besar, usaha yang bersifat lintas negara (transnasional) dapat dilakukan dan sesuai dengan semangat kapitalisme, maka prioritisasi keuntungan adalah hal yang jamak. Penekanan itu membuat korporasi akan berusaha meminimalisir persaingan, melakukan monopoli, penipuan, penggelapan pajak dan lain sebagainya yang sangat merugikan negara-negara berkembang (baca : terbelakang) karena pada hakikatnya negera-negara kategori itu adalah objek dari globalisasi.
Negara-negara berkembang mempunyai karakteristik penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang kendor, moral yang rendah yang kesemuanya itu akan menambah maraknya kejahatan korporasi. Pemicu kejahatan korporasi yang lain menurut Clinard adalah perilaku top management, kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan margin keuntungan yang rendah atau tipe industri yang sangat kompetitif, riwayat sosial korporasi, praktik dagang yang tidak jujur dari perusahaan saingan (unfair trade practices), dan budaya korporasi yang kesemuanya menjadi faktor kriminogen dari kejahatan korporasi . Hal itu juga dapat dikaji dari apa yang disebut dengan karakteristik white collar crime pada umumnya dan kejahatan korporasi pada khususnya, yaitu : 1) low visibility; 2) complexity; 3) diffusion of responsibility; 4) the diffusion of victimization; 5) difficult to detect and to prosecute; 6) lenient sanctions; 7) ambiguous law; 8) ambiguous criminal status .
Korban kejahatan korporasi (dalam point 4) memiliki spektrum yang luas dan terdapat perbedaan yang bersifat mendasar antara korban kejahatan konvensional dengan kejahatan-kejahatan dalam bentuk inkonvensional. Pada kejahatan yang bersifat konvensional, korban kejahatan akan segera nampak pada saat atau setelah terjadinya kejahatan, sedangkan pada kejahatan yang bersifat inkonvensional, korban kejahatan sulit untuk diketahui atau korban baru diketahui pada waktu yang cukup lama setelah terjadinya kejahatan. Bahkan adakalanya korban tidak mengetahui sama sekali kalau dirinya telah menjadi korban dari kejahatan korporasi.
Hal itu berarti terdapat suatu kesulitan untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. Korban kejahatan korporasi sulit diidentifikasikan mengingat sifatnya yang abstrak (abstract victim). Korban juga kadang tidak menyadari telah menjadi korban kejahatan korporasi seperti pemerintah, konsumen, ataupun perusahaan saingan.
Penyebaran korban yang sangat luas dan kondisi ketidaksadaran korban bahwa ia telah menjadi korban ditambah pula dengan adanya kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengungkap adanya kejahatan korporasi merupakan situasi yang menguntungkan bagi korporasi dalam melestarikan perilaku negatifnya. Dalam kondisi semacam ini korban kejahatan korporasi tidak dapat lagi dikualifikasikan sebagai korban yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelaku (unrelated victims atau non participating victims), tetapi dapat diidentifikasikan sebagai korban yang berpartisipasi (participing victims) terhadap terjadinya kejahatan korporasi dengan perilakunya yang pasif. Atau dapat disebut sebagai precipitative victims karena perilakunya yang sembrono dan pasif mendorong terjadinya kejahatan korporasi. Dalam kondisi ini, sebenarnya terjadi apa yang dinamakan shared responsibility antara pelaku dengan korban individual maupun kolektif .
Pemahaman terhadap spektrum korban kejahatan korporasi dapat dikaji langsung dari apa yang dinamakan pihak-pihak yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang berlawanan dengan tujuan dan kepentingan korporasi berupa prioritization of profit. Menurut Muladi, pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut : 1) perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat dan praktik monopoli. Tindakan merugikan perusahaan lain tersebut akan menjadi semakin parah dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict); 2) negara (state) sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, penghindaran pembayaran pajak dan sebagainya; 3) karyawan (employees) sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak umum untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, PHK yang melanggar hukum; 4) konsumen (consumers) sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya; 5) masyarakat (public) sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan sebagainya. Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat bersifat penderitaan fisik sampai pada kematian; 6) pemegang saham (share golders/investor) sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akutansi .
Apabila proses viktimisasi di atas bersifat langsung (direct victimization), maka terdapat pula proses viktimisasi yang bersifat tidak langsung (indirect victimization) dalam bentuk sebagai berikut : 1) kerugian negara dalam bentuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana (cost of criminal justice) terhadap kejahatan korporasi yang sangat kompleks, dengan konsekuensi lebih besar daripada biaya peradilan pidana kejahatan konvensional; 2) kerugian sosial (social damages) dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat .
Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan korporasi begitu besar. Akan tetapi sampai saat ini belum ada lembaga yang secara khusus menghitung seberapa besar kerugian akibat kejahatan korporasi tersebut. Secara garis besar kerugian tersebut akan meliputi kerugian di bidang ekonomi/materi; 2) kerugian di bidang kesehatan dan keselematan jiwa; dan 3) kerugian di bidang sosial dan moral.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah terjadinya minat para pelaku bisnis, yaitu dari efisiensi di bidang produksi ke efisiansi dalam tindakan manipulasi terhadap masyarakat, termasuk manipulasi terhadap pemerintah dalam usaha memperoleh keuntungan yang diinginkan. Hal itu berpengaruh : 1) cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat amal kepada penguasa atas beban masyarakat (konsumen); dan 2) cenderung membuat pemerintah korup .
Terhadap realitas di atas telah menimbulkan kesadaran kolektif dunia untuk mengatur korporasi transnasional. Di tingkat internasional digunakan istilah Multinasional Enterprises (MNEs) yang secara yuridis dirumuskan sebagai “perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan dari negara asal dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang penting di negara lain, yang disebut negara-negara tuan rumah”. Tentang MNEs ditu lembaga internasional seperti PBB (ECOSOC) dan OECD (organization for economic cooperation and development) telah mengatur kode etik tersendiri bagi MNEs yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Kegiatan perusahaan transnasional
a. Umum dan politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh pada hukum, peraturan dan praktik-praktik administratif negera setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaran-sasaran serta prioritas kebijakan pembangunan; berpegang pada nilai sosial kultural; menghormati HAM, tidak campur tangan urusan politik intern, dan tidak terlibat dalam praktik korupsi.
b. Ekonomi, finansial dan sosial; meliputi ketentuan kepemilikan dan pengawasan, neraca pembayaran dan keuangan, transfer pricing, perpajakan, persaingan dan praktik-praktik bisnis terbatas, transfer teknologi, lapangan kerja dan pekerjaan, perlindungan konsumen, dan perlindungan terhadap lingkungan.
c. penyingkapan informasi.
2. Perlakuan terhadap perusahaan transnasional
Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam kategori ini diantaranya, perlakuan umum perusahaan transnasional oleh negara-negara tuan rumah, nasionalisasi, kompensasi dan yuridiksi.
3. Kerjasama antar negara.

C. PENUTUP
Kejahatan korporasi adalah praktik-praktik atau kegiatan korporasi yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dengan skala korban yang cukup luas, yang kadang-kadang belum terjangkau oleh hukum. Timbulnya kejahatan tersebut adalah akibat dari keinginan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besanya, yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi masyarakat, baik berupa perusakan kondisi alamiah maupun kondisi sosial.
Pada kejahatan korporasi, korban sulit untuk diidentifikasi sebagaimana korban dalam kejahatan konvensional. Karakteristik korban pada kejahatan korporasi dapat dikatakan, yaitu korban yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban, korban yang sifatnya abstrak sehingga sulit diidentifikasi dan penyebaran korban yang sangat luas.

DAFTAR PUSTAKA

I. S. Susanto, Tinjauan Kriminologi terhadap Kejahatan Korporasi, Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, 3-15 Desember 1993.

J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Jakarta, 2002.

Muladi, Korban Kejahatan Korporasi, Materi Penataran nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, FH UNDIP, 1995.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997.

Muladi, Demoktatisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Banyumedia Publishing, Malang, 2003.

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, IKAPI, Jakarta, 2006.

PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA

A. PENGANTAR
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual, yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (natural person) sebagai subjek hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.
Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daad-dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum sentral1. Penerapan pertanggungjawaban korporasi akan mendapat kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi .
Sementara itu perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan korporasi-korporasi tersebut telah menjalankan berbagai aktifitas perekonomian yang bersifat transnasional sedangkan negara-negara berkembang yang merupakan objek globalisasi pada umumnya mempunyai karakteristik penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang lemah dan moral yang rendah yang kesemuanya akan menambah maraknya kejahatan korporasi. Akibatnya aspek viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan, karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.
Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dengan menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59 KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi .

B. DOKTRIN STRICT LIABILITY DAN VICARIOUS LIABILITY
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea, atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan menyulitkan untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Oleh karena itu apabila korporasi melakukan perbuatan yang berdampak mendatangkan kerugian bagi pihak lain, maka cukuplah fakta yang menderitakan korban dijadikan dasar menuntut pertanggungjawaban pidana dari korporasi tanpa harus menilai kesalahan pembuatnya. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena beberapa negara (Anglo Amerika) telah memberlakukan doktrin stict liability dan vicarious liability untuk jenis tindak pidana tertentu .
Doktrin strict liability atau liability without fault adalah pembebanan tanggung-jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang dipersyaratkan. Substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah dapat dijatuhi pidana apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya.
Penerapan doktrin strict liability secara luas ternyata banyak mendapat penentangan karena tindak pidana (kejahatan) mensyaratkan sekap bathin bagi pelakunya sehingga korporasi tidak mungkin memiliki mens rea. Sebagai suatu fiksi hukum, korporasi tidak mungkin melakukan perbuatan hukum sendiri melainkan perbuatan yang mengikat dirinya dilakukan oleh pengurusnya yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Solusinya adalah dengan mengeluarkan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.
Dokrin vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Doktrin ini didasarkan asas respondeat superior, di mana dalam hubungan antara master dengan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut maxim ini tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu . Vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu (delegation principle).
2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in law).
Menurut Muladi dan Prayitno , penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis dan perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya perlindungan makanan, minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku/korban sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri
Sejalan dengan pendirian di atas, RUU KUHP 2004 sebagai ius constituendum telah mengadopsi doktrin Strict Liability dan Vicarius Liabiliy. Hal itu tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) dari RUU tersebut :
Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

Pasal 35 ayat (3) RUU KUHP 2004 :

Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

C. PENERAPAN SYARAT SUBJEKTIF PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak perlu terlalu kaku diberlakukan dalam pertanggungjawaban korporasi mengingat aspek victimologis kejahatan koporasi yang begitu meluas. Penerapan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi secara kaku dapat menjadi faktor kriminogen yang akan menambah maraknya kejahatan korporasi.
Syarat subyektif dalam pertanggungjawaban pidana akan meliputi kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan/kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Apabila ini akan tetap dipakai, maka : pertama, dalam pertanggungjawaban pidana harus diterima konsep kepelakuan fungsional (fungsional daderschap). Ciri khas dari kepelakuan fungsional ini yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya melakukan) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain . Dengan demikian kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. Terhadap konsep ini, Muladi secara kongkrit merekomendasikan untuk melihat apakah perbuatan sesuai dengan tujuan statuta perusahaan dan atau dengan kebijakan perusahaan, dan yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari perusahaan . Dengan kata lain apabila perbuatan yang terlarang pertanggungjawabannya akan dibebankan pada perusahaan, maka perbuatan itu harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari perusahaan.
Kedua, masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi dapat tercakup pada politik perusahaan atau kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Dapat juga dijelaskan dengan melihat kesengajaan atau kealpaan dari pengurus korporasi dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu . Jadi kesengajaan atau kealpaan dari korporasi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi tersebut maupun pada pengurus yang bertindak atas nama korporasi.
Ketiga, masalah alasan pemaaf bagi korporasi tetap berlaku dengan mengadopsi alasan pemaaf bagi natural person. Hal ini sebagai konsekuensi dari kesalahan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi diatributkan menjadi kesalahan korporasi, sehingga hapusnya kesalahan pengurus karena alasan pemaaf menjadi hapus juga kesalahan korporasi.
Sementara itu dalam Pasal 50 RUU KUHP (Tahun 2004) disebutkan bahwa alasan pemaaf yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi akan meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Bagi korporasi alasan pemaaf tersebut juga berlaku sepanjang hal itu diajukan terlebih dahulu oleh korporasi. Bunyi selengkapnya Pasal 50 RUU KUHP adalah sebagai berikut :
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.


E. PENUTUP
Korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana merupakan suatu keniscayaan mengingat realitas perkembangan korporasi yang berusaha maksimal mendapatkan keuntungan membawa konsekuensi jatuhnya korban yang begitu besar, tidak hanya individu saja, melainkan masyarakat, bangsa dan negara. Aspek korban harus mendapatkan perhatian mengingat rasa keadilan diukur pula dari perspektif korban. Menjawab hal itu, maka asas-asas hukum yang selama ini diberlakukan bagi perorangan tidak perlu kaku diterapkan dalam pertanggungjawaban pada korporasi.
Pertanggungjawaban korporasi ini telah mendapat jawaban dalam kebijakan legislasi dimulai dengan lahirnya undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955. Berbagai undang-undang hukum pidana khusus lainnya juga banyak yang mengatur pertanggungjawaban korporasi seperti undang-undang mengenai perbankan, psikotropika, narkotika, korupsi, perlindungan konsumen, perikanan dan lain sebagainya. Namun dalam beragam undang-undang tersebut belum tedapat perumusan yang seragam mengenai dalam hal apa, bagaimana dan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan maupun jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan. Kebijakan legislasi demikian dapat menjadi hambatan dalam aplikasinya yang pada akhirnya akan mengurangi efektifitas penerapan pertanggungjawaban korporasi tersebut. Sikap responsif untuk memperbaiki realitas tersebut perlu segera dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Jakarta, 2002.

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Makalah Seminar, Fakultas Udayana, Denpasar, 15 September 1990.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia, Banyumedia Publishing, Malang, 2003.

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, IKAPI, Jakarta, 2006.