Oleh
: Hasanudin, S.H., M.H.,
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ini adalah suatu terjemahan dari Burgerlijk
Wetboek, ialah salah sebuah kitab undang-undang berasal dari pemerintahan zaman
Belanda dahulu, kitab mana demi Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar
Sementara harus kita warisi dengan segala cacat dan segala celanya (R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio dalam pengantar terjemahan Burgerlijk Wetboek (BW))[1]
A.
PENDAHULUAN
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas
sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan
memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat ,
saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan
(Lihat Pasal 164 HIR). Sehingga
keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab,
keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan
oleh hakim. Berdasarkan Pasal 178
HIR/189 RBG, setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus
melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah
melalui tahap jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, duplik dari
tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan oleh para pihak.
Dalam memutus
perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap
dipersidangan. Untuk itu hakim harus
menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat[2] . Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim
dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaannya,
hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu
pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli[3].
Dalam praktek
peradilan perdata dikenal sumber hukum berupa burgerlijk wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 pasal. BW tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD 1945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini. BW berlaku untuk sebagian warganegara
Indonesia yaitu : a) mereka yang termasuk golongan Eropa; b) mereka yang
termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa kekecualian dan tambahan seperti
termuat dalam Lembaran Negara tahun 1917 – 129 (lampiran II); dan c) mereka
yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong Hoa dengan kekecualian
dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1924 – 556 (lampiran
I)[4]. Sementara itu untuk golongan Bangsa Indonesia
Asli berlaku hukum adat yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat,
yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan
rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat[5] .
BW ditulis menggunakan bahasa Belanda dan hingga saat ini
tidak terdapat terjemahan resmi dari Pemerintah Indonesia
yang dapat memberikan keseragaman terjemahan yang dapat di gunakan dalam
penerapannya. Oleh karena itu dalam
kaitan praktek peradilan menjadi permasalahan adalah apakah penggunaan BW
terjemahan yang dilakukan oleh hakim untuk memutus sengketa yang diajukan
kepadanya tidak cacat hukum ?.
B.
PEMBAHASAN
1. Asas-Asas Putusan
Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu
putusan hakim harus ditinjau dari asas-asas putusan yang harus diterapkan dalam
putusan. Pada hakikatnya asas-asas tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/189 RBG
dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus
bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan
yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende
gemotiveerd. Alasan yang dijadkan
pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum[6].
Hal tersebut ditegaskan
dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan
bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim
karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan
para pihak yang berperkara. Untuk
memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim
untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari
pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan
adalah masalah yuridis, Akibatnya
putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang mengandung
kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas
dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan
putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat
(1) HIR/189 ayat (1) RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan
oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 RV adalah
putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi
gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya
memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian bertentangan
dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan
Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan
dalam gugatan. Larangan itu disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum
gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petitum,
harus dinyatakan cacat (invalid)
meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi
dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan
itikad baik[7].
d. Diucapkan di muka Umum
Persidangan dan putusan
diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum
merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Melalui asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang
jujur sejak awal sampai akhir. Prinsip
peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan.
Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara
perceraian. Akan tetapi walaupun
dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam
siding yang terbuka untuk umum.
Pelanggaran terhadap hal
di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
:
Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak
diucapkan di muka umum berakibat putusan batal demi hukum
2. Pertimbangan Hakim dengan Menggunakan BW
Terjemahan
Hukum positif dituangkan dalam
undang-undang adalah kristalisasi kehendak masyarakat. Penguasaan atas bahasa undang-undang sangat
diperlukan untuk memahami kehendak masyarakat tersebut agar tidak menimbulkan
penafsiran yang bertentangan dengan kehendak masyarakat. Itulah latar belakang pentingnya penguasaan
Bahasa Belanda untuk dapat memahami maksud dari segala pasal-pasal dalam BW.
Faktanya adalah minimnya penguasaan Bahasa
Belanda oleh para yurist saat
ini. Sepengetahuan penulis tidak lebih
dari seperlima dari jumlah keseluruhan hakim agung yang menguasai Bahasa Belanda. Konsekuansinya adalah penggunaan BW
terjemahan oleh para hakim/praktisi hukum untuk menjadi problem solving atas berbagai permasalahan hukum yang ada. BW adalah undang-undang sehingga harus
diterapkan sebagai legal reasoning
hakim dalam putusannya.
Penggunaan BW terjemahan tersebut telah
menjadi kebiasaan bagi para hakim baik hakim tingkat pertama, banding maupun
kasasi. Tidak pernah tercatat dalam
sejarah peradilan Indonesia
putusan hakim menjadi batal atau batal demi hukum dikarenakan penggunaan BW
terjemahan. Substansi dari putusan yang
pada hakikatnya menggunakan BW terjemahan juga telah dapat diterima oleh
masyarakat mengingat kebutuhan menghendakinya (doelmatigheid).
Dari berbagai putusan perdata yang
menggunakan BW sebagai problem solving
atas sengketa yang ada, penulis tidak
pernah melihat hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwasanya pasal BW yang
dikutip adalah terjemahan dari orang lain.
Terlihat seolah hakim tersebutlah yang menterjemahkannya dalam Bahasa
Indonesia. Menurut penulis hal tersebut
tidak menjadi persoalan asalkan diambil dari terjemahan penterjemah yang diakui
dan teruji kapasitasnya.
Secara yuridis, tidak terdapat suatu
pengaturan yang mengancam kebatalan bagi suatu putusan yang menggunakan BW
terjemahan sebagai dasar pertimbangan.
Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman hanya
menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Pelanggaran terhadap pasal
tersebut mengakibatkan putusan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi
dikarenakan alasan tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiverd.
C. PENUTUP
Penggunaan BW terjemahan telah menjadi
kelaziman dan kebutuhan hukum menghendakinya (doelmatigheid). Tidak
pernah suatu putusan batal atau batal demi hukum atas alasan pengggunaan BW
terjemahan. Penulis sependapat dengan
hal itu walaupun sudah barang tentu penggunaan BW terjemahan berdimensi amatir
bagi hakim yang menggunakannya.
Oleh karena itu kepentingan hukum Indonesia
menghendaki penguasaan Bahasa Belanda bagi para yurist dikarenakan alasan
sejarah hukum kita maupun secara de yure
masih banyak perundang-undangan kolonial yang masih berlaku. Memahami hukum dengan baik haruslah memahami
bahasa asli dari hukum itu sendiri.
[1] http://www.hukumonline.com,
Merajut
Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009
[2] Lihat Pasal
5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[4] R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004, Hlm.
vi-vii.
[7] Ibid, Hlm. 801-802
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com, Merajut Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009
H. M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar, Surabaya , Ubhara Press, 1998.
R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta , Pradnya Paramitha, 1996.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta , Sinar Grafika, 2005.
R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung , Mandar Maju, 2005.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta , PT Intermasa, 1996.
-----------, Hukum Pembuktian, Jakarta , PT Pradnya Paramitha, 2003
UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman