WELCOME TO MY BLOG

Blog ini sebagai penuangan pemikiran dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan

Jumat, 14 Desember 2012

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN PERKARA PERDATA DENGAN MENGGUNAKAN TERJEMAHAN BURGERLIJK WETBOEK


Oleh : Hasanudin, S.H., M.H.,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini adalah suatu terjemahan dari Burgerlijk Wetboek, ialah salah sebuah kitab undang-undang berasal dari pemerintahan zaman Belanda dahulu, kitab mana demi Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Sementara harus kita warisi dengan segala cacat dan segala celanya (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio dalam pengantar terjemahan Burgerlijk Wetboek (BW))[1]

A.  PENDAHULUAN
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang terungkap dalam persidangan (Lihat Pasal 164 HIR).  Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim.  Berdasarkan Pasal 178 HIR/189 RBG, setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena jabatannya harus melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan.  Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah melalui tahap jawaban dari tergugat, replik dari penggugat, duplik dari tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan oleh para pihak.
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap dipersidangan.  Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat[2] .  Sumber hukum yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan pelaksanaannya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli[3].
Dalam praktek peradilan perdata dikenal sumber hukum berupa burgerlijk wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 pasal.  BW tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini.  BW berlaku untuk sebagian warganegara Indonesia yaitu : a) mereka yang termasuk golongan Eropa; b) mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1917 – 129 (lampiran II); dan c) mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1924 – 556 (lampiran I)[4].  Sementara itu untuk golongan Bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat[5] .
BW ditulis menggunakan bahasa Belanda dan hingga saat ini tidak terdapat terjemahan resmi dari Pemerintah Indonesia yang dapat memberikan keseragaman terjemahan yang dapat di gunakan dalam penerapannya.  Oleh karena itu dalam kaitan praktek peradilan menjadi permasalahan adalah apakah penggunaan BW terjemahan yang dilakukan oleh hakim untuk memutus sengketa yang diajukan kepadanya tidak cacat hukum ?. 

B.  PEMBAHASAN
1.    Asas-Asas Putusan
Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus ditinjau dari asas-asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan.  Pada hakikatnya asas-asas  tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/189 RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a.  Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.  Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.  Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum[6].
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.  Untuk memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis,  Akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.  Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan  putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1) RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
b.  Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.  Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya.  Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh undang-undang.
c.  Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal  178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.  Larangan itu disebut ultra petitum partium.  Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.  Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).  Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan itikad baik[7].
d.  Diucapkan di muka Umum
Persidangan dan putusan diucapkan dalam siding pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial.  Melalui asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir.  Prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian.  Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan wajib diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di muka umum berakibat putusan batal demi hukum
2.   Pertimbangan Hakim dengan Menggunakan BW Terjemahan
Hukum positif dituangkan dalam undang-undang adalah kristalisasi kehendak masyarakat.  Penguasaan atas bahasa undang-undang sangat diperlukan untuk memahami kehendak masyarakat tersebut agar tidak menimbulkan penafsiran yang bertentangan dengan kehendak masyarakat.  Itulah latar belakang pentingnya penguasaan Bahasa Belanda untuk dapat memahami maksud dari segala pasal-pasal dalam BW.

Faktanya adalah minimnya penguasaan Bahasa Belanda oleh para yurist saat ini.  Sepengetahuan penulis tidak lebih dari seperlima dari jumlah keseluruhan hakim agung yang menguasai Bahasa Belanda.  Konsekuansinya adalah penggunaan BW terjemahan oleh para hakim/praktisi hukum untuk menjadi problem solving atas berbagai permasalahan hukum yang ada.  BW adalah undang-undang sehingga harus diterapkan sebagai legal reasoning hakim dalam putusannya.
Penggunaan BW terjemahan tersebut telah menjadi kebiasaan bagi para hakim baik hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.  Tidak pernah tercatat dalam sejarah peradilan Indonesia putusan hakim menjadi batal atau batal demi hukum dikarenakan penggunaan BW terjemahan.  Substansi dari putusan yang pada hakikatnya menggunakan BW terjemahan juga telah dapat diterima oleh masyarakat mengingat kebutuhan menghendakinya (doelmatigheid).
Dari berbagai putusan perdata yang menggunakan BW sebagai problem solving atas sengketa yang ada,  penulis tidak pernah melihat hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwasanya pasal BW yang dikutip adalah terjemahan dari orang lain.  Terlihat seolah hakim tersebutlah yang menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia.  Menurut penulis hal tersebut tidak menjadi persoalan asalkan diambil dari terjemahan penterjemah yang diakui dan teruji kapasitasnya.
Secara yuridis, tidak terdapat suatu pengaturan yang mengancam kebatalan bagi suatu putusan yang menggunakan BW terjemahan sebagai dasar pertimbangan.  Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Pelanggaran terhadap pasal tersebut mengakibatkan putusan dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan alasan tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiverd. 

C.     PENUTUP
Penggunaan BW terjemahan telah menjadi kelaziman dan kebutuhan hukum menghendakinya (doelmatigheid).  Tidak pernah suatu putusan batal atau batal demi hukum atas alasan pengggunaan BW terjemahan.  Penulis sependapat dengan hal itu walaupun sudah barang tentu penggunaan BW terjemahan berdimensi amatir bagi hakim yang menggunakannya.
Oleh karena itu kepentingan hukum Indonesia menghendaki penguasaan Bahasa Belanda bagi para yurist dikarenakan alasan sejarah hukum kita maupun secara de yure masih banyak perundang-undangan kolonial yang masih berlaku.  Memahami hukum dengan baik haruslah memahami bahasa asli dari hukum itu sendiri.


[1] http://www.hukumonline.com, Merajut Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009
[2]    Lihat Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
[3]    R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung, Mandar Maju, 2005, Hlm. 146.
[4]    R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004, Hlm. vi-vii.
[5]    Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 1996, Hlm. 10.
[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, Hlm.  798.
[7] Ibid, Hlm. 801-802


DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.comMerajut Kembali KUH Perdata, 19 Maret 2009

H. M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar, Surabaya, Ubhara Press, 1998.

R.  Tresna, Komentar HIRJakarta, Pradnya Paramitha, 1996.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara PerdataJakarta, Sinar Grafika, 2005.

R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan YurisprudensiBandung, Mandar Maju, 2005.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramitha, 2004.

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum PerdataJakarta, PT Intermasa, 1996.

-----------, Hukum PembuktianJakarta, PT Pradnya Paramitha, 2003

UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


Senin, 22 Oktober 2012


PENYALAHGUNAAN KEADAAN
SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PERJANJIAN
Oleh  :  Hasanudin, S.H., M.H.,

A.  Cacat Kehendak Dalam Perjanjian
Perjanjian merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda overeenkomst yang berasal dari kata kerja overeenkomen, artinya setuju atau sepakat.  Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.  Oleh karena itu formulasi perjanjian pasti berisi kesanggupan/janji-janji atau hak dan kewajiban dari para pihak yang menutup perjanjian.
Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1) perjanjian didasarkan pada kesepakatan (consensus); 2) perjanjian harus dibuat oleh orang yang cakap untuk membuat perjanjian; 3) obyek perjanjian harus jelas atau tertentu; dan 4) perjanjian itu memiliki sebab (causa) yang halal.  Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek perjanjian.  Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, yaitu tidak dipenuhinya syarat subyektif konsekuensinya adalah perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietig).
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung asas konsensualisme, yaitu diperlukannya sepakat (toestemming) untuk lahirnya perjanjian.  Dengan disebutkan hanya sepakat saja dalam Pasal 1320 KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa apabila sudah terjadi kata sepakat, maka syahlah perjanjian itu (Subekti, 1995 : 4).   Sepakat adalah pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lain (J. Satrio, 2001 : 165).  Sepakat dapat juga diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya.
Permasalahannya adalah bagaimanakah bila pernyataan kehendak yang menutup perjanjian adalah cacat ?.  Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwasanya tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.  Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata hal tersebut adalah pelanggaran terhadap syarat subyektif perjanjian yang membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya oleh salah satu pihak kepada hakim. 
Buku III KUHPerdata menganut asas kebebasan dalam membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid).  Setiap kata sepakat (consensus) yang terjadi diantara para pihak (kebebasan berkontrak) akan menimbulkan perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang menutup perjanjian (pacta sunt servanda).  Oleh karena itu cacat kehendak karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian maupun perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kepentingan umum pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak. 
Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan ketidakadilan dikarenakan membutuhkan posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dari para pihak yang menutup perjanjian.  Seringkali posisi tawar yang tidak berimbang menyebabkan pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya.
Dalam perkembangannya, cacat kehendak juga dapat terjadi dalam hal adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence).  Di Negeri Belanda, menurut Pasal 3 : 44 NBW (sejak Januari 1992) perjanjian dapat dibatalkan apabila satu pihak dalam melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau terpaksa atau dalam keadaan di mana pihak lawannya mempunyai keadaan psikologis yang lebih kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut dalam membuat perjanjian (Herlien Boediono, 2008 : 17).

B.  Perkembangan Penyalahgunaan Keadaan
Dimulai dari Bovag Arrest III, HR 26 Februari 1960, NJ. 1965,373, maka hukum perjanjian di Negeri Belanda telah menerima penyalahgunaan keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian.  Pembatalan atas alasan itu dapat dilakukan baik untuk seluruhnya ataupun sebagian.  Dalam buku ketiga Pasal 44 ayat (1) Nieuw Burgerlijk Wetboek (BW Baru) Belanda disebutkan empat syarat untuk adanya penyalahgunaan keadaan, yaitu   :
1)      Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere onstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.
2)      Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), diisyaratkan bahwa salah salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain dalam keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu akta perjanjian.
3)      Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui seharusnya tidak melakukannya.
4)      Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa tanpa penyalahgunaan keadaan itu maka perjanjian tidak ditutup.

Penyalahgunaan keadaan bukan hal baru dalam hukum perjanjian.  Penyalahgunaan tidak dapat dibenarkan, akan tetapi cara mengkontruksikannya dahulu dan kini berbeda.  Dahulu penyalahgunaan keadaan dikonstruksikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum atau tata karma yang baik (geode zeden) sehingga berkaitan dengan cacat causa dari perjanjian.  Perjanjian yang lahir dalam kondisi psikologis ataupun ekonomis yang tidak berimbang dapat menyebabkan salah satu pihak terpaksa menutup perjanjian dengan prestasi yang tidak berimbang.
Konsekuensi dari cacat causa adalah perjanjian batal demi hukum (nietig) untuk seluruhnya.  Hal itu dipandang tidak adil dikarenakan sering hanya bagian tertentu dari perjanjian yang dianggap tidak adil oleh pihak yang dirugikan. Perjanjian juga menjadi dapat dimintakan pembatalan oleh kedua belah pihak termasuk pihak yang menyalahgunakan keadaan apabila dianggap perjanjian tersebut ternyata merugikannya.
Pada hakekatnya, penyalahgunaan keadaan tidak semata berkaitan dengan isi perjanjian yang tidak berimbang.  Perjanjian dianggap bertentangan dengan tata krama/kesusilaan atas dasar keadaan penyalahgunaan keadaan yang mengiringi terjadinya perjanjian tersebut.  Menurut J. Satrio (2001 : 319), sebenarnya mengambil keuntungan dari keadaan orang lain tidak menyebabkan isi dan tujuan perjanjian terlarang, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan tidak diberikan dalam keadaan bebas.  Dengan demikian masalahnya bukan “kausa/sebab” yang terlarang, tetapi merupakan cacat dalam kehendak, cara “memaksakan” persetujuan “yang disalahgunakan”.
Kontruksi penyalahgunaan keadaan sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya (vernietigbaar) kepada hakim oleh pihak yang dirugikan.  Sepanjang perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang membuatnya.  Tuntutan pembatalan dapat dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.
Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan syarat subyektif perjanjian.  Salah satu pihak menyalahgunakaan keadaan yang berakibat pihak lawan janjinya tidak dapat menyatakan kehendaknya secara bebas.  Van Dunne membedakan penyalahgunaan menjadi 2 (dua), yaitu karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan sebagai berikut (Henry P. Panggabean, 1992 : 41) :
1)      Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis :
a.   satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain;
b.   pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian;
2).  Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan :
a.   salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami, isteri, dokter pasien, pendeta jemaat;
b.   salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan sebagainya;
Posisi tawar yang tidak berimbang dapat menjadikan salah satu pihak dalam keadaan terpaksa saat menutup perjanjian.  Lebih lanjut, J. Satrio (2001 : 317-318) mengemukakan beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai ciri penyalahgunaan keadaan, yaitu :
1)   Adanya keadaaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang mendesak, atau
2)      Adanya hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomis pada salah satu pihak, hubungan majikan-buruh, orang tua/wali-anak belum dewasa ataupun
3)      Adanya keadaan lain yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli,
4)      Perjanjian tersebut mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal-balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang), seperti pembebasan majikan dari menanggung resiko dan menggesernya menjadi tanggungan buruh,
5)      Kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.
Praktek peradilan telah menerima penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian di samping alasan yang selama ini telah dikenal, yaitu : 1) Perjanjian dibuat oleh mereka yang tidak cakap (Pasal 1330 KUHPerdata); 2) Perjanjian bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata); 3) Perjanjian dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata); dan 4) Wanprestasi dalam pelaksananan perjanjian (Pasal 1266 KUHPerdata). Penulis mencatat, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3641.K/Pdt/2001 tanggal 1 September 2002 adalah “penandatanganan perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan 42 oleh orang yang sedang ditahan polisi tersebut, adalah merupakan tindakan “penyalahgunaan keadaan”, karena salah satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.  Akibat hukumnya, semua perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan No. 42 tersebut beserta perjanjian lainnya, menjadi batal menurut hukum atau dinyatakan batal oleh hakim atas tuntutan/gugatan pihak lain”.  Pembatalan perjanjian itu dikarenakan adanya penyalahgunaan keadaan atas kondisi psikologis yang tidak berimbang diantara para pihak yang menutup perjanjian.  Latar belakang lahirnya perjanjian adalah adanya janji dari salah satu pihak untuk membantu penangguhan penahanan pihak lainnya.

C.  Pembuktian Adanya Penyalahgunaan Keadaan
KUHPerdata tidak menganut prinsip justum pretitum, yaitu prinsip yang mengharuskan agar dalam perjanjian timbal balik dipenuhi syarat keseimbangan prestasi dan kontra prestasi.  Oleh karena itu, adanya prestasi dan kontra prestasi yang tidak berimbang tidak cukup membuktikan adanya penyalahgunaan keadaan.  Tidak berimbangnya prestasi dan kontra prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih jauh apakah munculnya keadaan itu didahului oleh adanya penyalahgunaan keadaan.  Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan prestasi yang menyolok terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah satu fihak disalahgunakan.  Tekanan keadaan dan ketidakseimbangan saja juga tidak cukup, yang penting justru dibuktikan adanya penyalahgunaan dari keadaan ekonomis atau psikologis (J. Satrio, 2001 : 322-323).
Penilaian ada tidaknya penyalahgunaan keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, maka terhadap setiap kasus harus dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi maupun kontra prestasi pada penjanjian itu sendiri.  Kesimpulan adanya penyalahgunaan keadaan secara subyektif semata tanpa melihat kriteria obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencenderai keadilan.
Untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah :
1)      Dari aspek formulasi perjanjian, prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara mencolok dan bahkan tidak patut, dan
2)      Dari aspek proses ditutupnya perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.
Sebagaimana lazimnya dalam tuntutan pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan unsur kerugian. Sudah cukup apabila dapat dibuktikan bahwasanya tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tidak mungkin lahir. 
Merugikan dapat diartikan sebagai perjanjian dipaksakan (opgedrongen).  Jadi kerugian (nadeligheid) sama dengan terpaksa (onvrijwilligheid).  Menurut Parlemen Belanda, kerugian hanya disebut bahwa kerugian dalam bentuk apapun dan kerugian tidak harus ada dalam perbuatan hukum dalam arti ketidaksamaan antara prestasi-prestasi atau klausula yang berat sebelah (exoneratie atau onereuze clausules), tetapi dapat pula bersifat subyektif dan idiil.  Perdebatan di Parlemen Belanda membuahkan hasil bahwa unsur kerugian ternyata tidak dicantumkan dalam Pasal 3 : 44 NBW (Herlien Budiono, 2008 : 20).


D.  Penutup

Kebebasan berkontrak mengandung makna kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian asalkan dikehendaki oleh para pihak dan causanya tidak terlarang.  Pada perjanjian dengan posisi para pihak yang berimbang akan melahirkan prestasi dan kontra prestasi yang berimbang pula.  Akan tetapi tanpa batasan terhadap kebebasan berkontrak, dapat menjadi pengekangan terhadap kebebasan pihak lain yang mempunyai posisi tawar rendah dalam menutup perjanjian.
Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dipengaruhi berbagai perkembangan dalam hukum perjanjian.  Berkembangnya ajaran itikad baik saat menutup perjanjian dan makin berpengaruhnya ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian turut membatasi kebebasan berkontrak.  Semakin berkembangnya peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi juga turut membatasi kebebasan berkontrak.  Misalnya larangan dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha membuat atau mencantumkan klausula baku tertentu.  Peraturan-peraturan tersebut sering membuat ancaman kebatalan perjanjian diluar adanya alasan paksaan, kesesatan dan penipuan yang selama ini kita kenal.

DAFTAR PUSTAKA

 Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda, Yogyakarta, Liberty, 1992.

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2008.

------, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2009.

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001.

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995.

------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 1996.

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, Mandar Maju, 2000.






SEKILAS PANDANG TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM  
Oleh : Hasanudin

Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.  Formulasi tersebut bersifat umum, sehingga dapat diterapkan dalam berbagai permasalahan pelanggaran hukum perdata.  Dalil perbuatan melawan hukum dapat digunakan untuk menuntut ganti kerugian dalam pelanggaran perdata, tidak terkecuali dalam bidang merek dan hak cipta.
Perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah onrechmatige daad dan dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah tort.  Kata tort berarti salah (wrong).  Sebagaimana dalam sistem hukum Eropa Kontinental,  kata tort dalam hukum perdata berkembang menjadi berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. 
Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, maka perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur,  yaitu : 1) adanya suatu perbuatan; 2) perbuatan tersebut melawan hukum; 3) adanya kesalahan dari pihak pelaku; 3) adanya kerugian bagi korban; dan 5) adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.  Unsur-unsur itu bersifat kumulatif, sehingga semua unsur harus dipenuhi.
Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan”[1] dalam istilah perbuatan melawan hukum meliputi : a) nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum; b) misfeasance, yaitu merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya; dan malfeasance, yaitu merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak melakukannya[2].
Sebelum tahun 1919, pengadilan menafsirkan “melawan hukum” sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku (onwetmatige daad).  Sejak tanggal 31 Januari 1919 Hoge Raad di Negara Belanda dalam kasus Lindenbaum versus Cohen menafsirkan “melawan hukum” secara luas, yaitu meliputi pelanggaran :
1.      Hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan-perundangan.
2.      Hak orang lain.
3.      Kelalaian yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut hukum yang berlaku, kesusilaan, kecermatan dalam mengatur masyarakat orang atau benda[3].
Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum.  Suatu perbuatan mengandung unsur “kesalahan” adalah apabila memenuhi unsur : a) kesengajaan; atau b) kelalaian (negligence, culpa); dan c) tida ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht vaardigingsgrond) seperti overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain[4].
Kerugian yang terjadi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil.  Kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat meliputi kerugian materiil dan kerugian immateriil yang akan dinilai dengan uang. 
Syarat terakhir dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.  Doktrin hukum perdata mengenal 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira.   Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual terjadi.  Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian tidak akan terjadi tanpa penyebabnya[5].  Selanjutnya mengenai teori penyebab kira-kira (proximate cause) mengajarkan bahwa sesuatu hal dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kirakan akan diikuti oleh akibat lain[6]. 
Akibat dari perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 sampai dengan 1367 KUH Perdata.  Pasal 1365 KUH Perdata telah diuraikan bahwa perbuatan melawan hukum membawa konsekuensi berupa penggantian kerugian.  Sedangkan Pasal 1366 KUH Perdata, menyebutkan:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya dst.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil.  Penggantian kerugian dihitung dengan uang atau disetarakan dengan uang di samping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat aktual (actual loss) dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat aktual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil.  Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku.  Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.


[1]     Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum karena perkataan “perbuatan” dalam istilah melanggar hukum tidak hanya berarti positif melainkan juga berarti negatif, yaitu meliputi orang yang berdiam saja dapat dianggap melanggar hukum apabila  orang itu menurut hukum harus bertindak. (Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan 1, 2000, hal. 2).
[2]     Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan III, 2010, hal. 5.
[3]     C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan Kedua, 1995, hal, 214-215.
[4]     Munir Fuady, op cit, hal. 12.
[5] Munir Fuady, op cit, hal. 12.
[6] Wirjono Prodjodikoro, op cit, hal 17.