SEKILAS PANDANG TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Oleh : Hasanudin
Pasal 1365
KUH Perdata menyebutkan “tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Formulasi tersebut bersifat umum, sehingga
dapat diterapkan dalam berbagai permasalahan pelanggaran hukum perdata. Dalil perbuatan melawan hukum dapat digunakan
untuk menuntut ganti kerugian dalam pelanggaran perdata, tidak terkecuali dalam
bidang merek dan hak cipta.
Perbuatan
melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum dalam Bahasa Belanda disebut
dengan istilah onrechmatige daad dan
dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah tort. Kata tort
berarti salah (wrong). Sebagaimana dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, kata tort dalam hukum perdata berkembang menjadi berarti kesalahan
perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak.
Berdasarkan
Pasal 1365 KUH Perdata, maka perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur, yaitu : 1) adanya suatu perbuatan; 2)
perbuatan tersebut melawan hukum; 3) adanya kesalahan dari pihak pelaku; 3)
adanya kerugian bagi korban; dan 5) adanya hubungan kausal antara perbuatan
dengan kerugian. Unsur-unsur itu
bersifat kumulatif, sehingga semua unsur harus dipenuhi.
Secara klasik,
yang dimaksud dengan “perbuatan”[1] dalam istilah
perbuatan melawan hukum meliputi : a) nonfeasance,
yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum; b) misfeasance, yaitu merupakan perbuatan
yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau
merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya; dan malfeasance, yaitu merupakan perbuatan
yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak melakukannya[2].
Sebelum tahun
1919, pengadilan menafsirkan “melawan hukum” sebagai pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku (onwetmatige
daad). Sejak tanggal 31 Januari 1919
Hoge Raad di Negara Belanda dalam
kasus Lindenbaum versus Cohen menafsirkan “melawan hukum” secara luas, yaitu
meliputi pelanggaran :
1.
Hukum yang berlaku yang terdapat
dalam peraturan-perundangan.
2.
Hak orang lain.
3.
Kelalaian yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut hukum yang berlaku,
kesusilaan, kecermatan dalam mengatur masyarakat orang atau benda[3].
Pasal 1365 KUH
Perdata mensyaratkan adanya “kesalahan” (schuld)
dalam suatu perbuatan melawan hukum.
Suatu perbuatan mengandung unsur “kesalahan” adalah apabila memenuhi
unsur : a) kesengajaan; atau b) kelalaian (negligence,
culpa); dan c) tida ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht vaardigingsgrond) seperti overmacht, membela diri, tidak waras dan
lain-lain[4].
Kerugian yang
terjadi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata berbeda dengan kerugian karena
wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil. Kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat
meliputi kerugian materiil dan kerugian immateriil yang akan dinilai dengan
uang.
Syarat
terakhir dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kausalitas antara perbuatan dengan
kerugian. Doktrin hukum perdata mengenal
2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab
kira-kira. Hubungan sebab akibat secara
faktual (causation in fact) hanya
merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian
dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian tidak akan terjadi
tanpa penyebabnya[5]. Selanjutnya mengenai teori penyebab kira-kira
(proximate cause) mengajarkan bahwa
sesuatu hal dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman
manusia dapat dikira-kirakan akan diikuti oleh akibat lain[6].
Akibat dari perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365
sampai dengan 1367 KUH Perdata. Pasal 1365
KUH Perdata telah diuraikan bahwa perbuatan melawan hukum membawa konsekuensi berupa
penggantian kerugian. Sedangkan Pasal
1366 KUH Perdata, menyebutkan:
Setiap
orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya.
Lebih
lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
Seorang
tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang
berada di bawah pengawasannya dst.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan
melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian
kerugian materiil dan immateriil. Penggantian
kerugian dihitung dengan uang atau disetarakan dengan uang di samping adanya
tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami
kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari
suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu :
kerugian yang bersifat aktual (actual
loss) dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat aktual
adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat
materiil dan immateriil. Kerugian ini
didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan
melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang
adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang
akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti
pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan
atau elektronik terhadap pelaku. Ganti
kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang
sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.
[1] Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah
perbuatan melanggar hukum karena perkataan “perbuatan” dalam istilah melanggar
hukum tidak hanya berarti positif melainkan juga berarti negatif, yaitu
meliputi orang yang berdiam saja dapat dianggap melanggar hukum apabila orang itu menurut hukum harus bertindak.
(Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, CV.
Mandar Maju, Bandung, Cetakan 1, 2000, hal. 2).
[2] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum
Pendekatan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung ,
Cetakan III, 2010, hal. 5.
[3] C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk
Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan Kedua,
1995, hal, 214-215.
[4] Munir Fuady, op cit, hal. 12.
[5] Munir
Fuady, op cit, hal. 12.
[6] Wirjono
Prodjodikoro, op cit, hal 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar