WELCOME TO MY BLOG

Blog ini sebagai penuangan pemikiran dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan

Senin, 22 Oktober 2012


SEKILAS PANDANG TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM  
Oleh : Hasanudin

Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.  Formulasi tersebut bersifat umum, sehingga dapat diterapkan dalam berbagai permasalahan pelanggaran hukum perdata.  Dalil perbuatan melawan hukum dapat digunakan untuk menuntut ganti kerugian dalam pelanggaran perdata, tidak terkecuali dalam bidang merek dan hak cipta.
Perbuatan melawan hukum atau perbuatan melanggar hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah onrechmatige daad dan dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah tort.  Kata tort berarti salah (wrong).  Sebagaimana dalam sistem hukum Eropa Kontinental,  kata tort dalam hukum perdata berkembang menjadi berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. 
Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, maka perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur,  yaitu : 1) adanya suatu perbuatan; 2) perbuatan tersebut melawan hukum; 3) adanya kesalahan dari pihak pelaku; 3) adanya kerugian bagi korban; dan 5) adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.  Unsur-unsur itu bersifat kumulatif, sehingga semua unsur harus dipenuhi.
Secara klasik, yang dimaksud dengan “perbuatan”[1] dalam istilah perbuatan melawan hukum meliputi : a) nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum; b) misfeasance, yaitu merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunyai hak untuk melakukannya; dan malfeasance, yaitu merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak melakukannya[2].
Sebelum tahun 1919, pengadilan menafsirkan “melawan hukum” sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku (onwetmatige daad).  Sejak tanggal 31 Januari 1919 Hoge Raad di Negara Belanda dalam kasus Lindenbaum versus Cohen menafsirkan “melawan hukum” secara luas, yaitu meliputi pelanggaran :
1.      Hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan-perundangan.
2.      Hak orang lain.
3.      Kelalaian yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut hukum yang berlaku, kesusilaan, kecermatan dalam mengatur masyarakat orang atau benda[3].
Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum.  Suatu perbuatan mengandung unsur “kesalahan” adalah apabila memenuhi unsur : a) kesengajaan; atau b) kelalaian (negligence, culpa); dan c) tida ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (recht vaardigingsgrond) seperti overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain[4].
Kerugian yang terjadi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil.  Kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat meliputi kerugian materiil dan kerugian immateriil yang akan dinilai dengan uang. 
Syarat terakhir dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.  Doktrin hukum perdata mengenal 2 (dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira.   Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanya merupakan masalah fakta atau apa yang secara faktual terjadi.  Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian tidak akan terjadi tanpa penyebabnya[5].  Selanjutnya mengenai teori penyebab kira-kira (proximate cause) mengajarkan bahwa sesuatu hal dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kirakan akan diikuti oleh akibat lain[6]. 
Akibat dari perbuatan melawan hukum diatur pada Pasal 1365 sampai dengan 1367 KUH Perdata.  Pasal 1365 KUH Perdata telah diuraikan bahwa perbuatan melawan hukum membawa konsekuensi berupa penggantian kerugian.  Sedangkan Pasal 1366 KUH Perdata, menyebutkan:
Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata, menyebutkan:
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah pengawasannya dst.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immateriil.  Penggantian kerugian dihitung dengan uang atau disetarakan dengan uang di samping adanya tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat aktual (actual loss) dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat aktual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil.  Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak dan atau elektronik terhadap pelaku.  Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan akan terjadi secara nyata.


[1]     Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum karena perkataan “perbuatan” dalam istilah melanggar hukum tidak hanya berarti positif melainkan juga berarti negatif, yaitu meliputi orang yang berdiam saja dapat dianggap melanggar hukum apabila  orang itu menurut hukum harus bertindak. (Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan 1, 2000, hal. 2).
[2]     Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan III, 2010, hal. 5.
[3]     C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita Jakarta, Cetakan Kedua, 1995, hal, 214-215.
[4]     Munir Fuady, op cit, hal. 12.
[5] Munir Fuady, op cit, hal. 12.
[6] Wirjono Prodjodikoro, op cit, hal 17.

Tidak ada komentar: