PENYALAHGUNAAN KEADAAN
SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PERJANJIAN
Oleh
: Hasanudin, S.H., M.H.,
A. Cacat Kehendak Dalam Perjanjian
Perjanjian merupakan terjemahan dari
Bahasa Belanda overeenkomst yang berasal
dari kata kerja overeenkomen, artinya
setuju atau sepakat. Perjanjian menurut
Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh karena itu formulasi perjanjian pasti
berisi kesanggupan/janji-janji atau hak dan kewajiban dari para pihak yang
menutup perjanjian.
Untuk syahnya perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu : 1) perjanjian didasarkan pada kesepakatan (consensus); 2) perjanjian harus dibuat
oleh orang yang cakap untuk membuat perjanjian; 3) obyek perjanjian harus jelas
atau tertentu; dan 4) perjanjian itu memiliki sebab (causa) yang halal. Syarat
pertama dan kedua menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek perjanjian.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut memiliki konsekuensi yang
berbeda, yaitu tidak dipenuhinya syarat subyektif konsekuensinya adalah
perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar)
sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif mengakibatkan perjanjian batal demi
hukum (nietig).
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung
asas konsensualisme, yaitu diperlukannya sepakat (toestemming) untuk lahirnya perjanjian. Dengan disebutkan hanya sepakat saja dalam
Pasal 1320 KUHPerdata tanpa dituntut formalitas apapun, dapat disimpulkan bahwa
apabila sudah terjadi kata sepakat, maka syahlah perjanjian itu (Subekti, 1995
: 4). Sepakat adalah pertemuan antara
dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang
dikehendaki oleh pihak lain (J. Satrio, 2001 : 165). Sepakat dapat juga diartikan sebagai
penawaran (aanbod) yang diterima oleh
lawan janjinya.
Permasalahannya adalah bagaimanakah
bila pernyataan kehendak yang menutup perjanjian adalah cacat ?. Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan bahwasanya
tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata hal tersebut adalah pelanggaran
terhadap syarat subyektif perjanjian yang membawa konsekuensi perjanjian dapat
dimohonkan pembatalannya oleh salah satu pihak kepada hakim.
Buku III KUHPerdata menganut asas
kebebasan dalam membuat perjanjian (beginsel
der contractsvrijheid). Setiap kata
sepakat (consensus) yang terjadi diantara
para pihak (kebebasan berkontrak) akan menimbulkan perjanjian yang mempunyai
kekuatan mengikat bagi para pihak yang menutup perjanjian (pacta sunt servanda). Oleh
karena itu cacat kehendak karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang)
dan penipuan (bedrog) sebagai alasan untuk
membatalkan perjanjian maupun perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan, kepatutan dan kepentingan umum pada hakekatnya adalah pembatasan
terhadap asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan berkontrak memang sering menimbulkan
ketidakadilan dikarenakan membutuhkan posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dari para pihak yang menutup
perjanjian. Seringkali posisi tawar yang
tidak berimbang menyebabkan pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi
mendiktekan kemauannya kepada pihak lawan janjinya.
Dalam perkembangannya, cacat kehendak
juga dapat terjadi dalam hal adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden/undue influence). Di Negeri Belanda, menurut Pasal 3 : 44
NBW (sejak Januari 1992) perjanjian dapat dibatalkan apabila satu pihak dalam
melakukan perjanjian tersebut berada dalam keadaan darurat atau terpaksa atau
dalam keadaan di mana pihak lawannya mempunyai keadaan psikologis yang lebih
kuat dan menyalahgunakan keadaan tersebut dalam membuat perjanjian (Herlien
Boediono, 2008 : 17).
B. Perkembangan Penyalahgunaan Keadaan
Dimulai dari Bovag Arrest III, HR 26
Februari 1960, NJ. 1965,373, maka hukum perjanjian di Negeri Belanda telah
menerima penyalahgunaan keadaan sebagai alasan pembatalan perjanjian. Pembatalan atas alasan itu dapat dilakukan
baik untuk seluruhnya ataupun sebagian. Dalam
buku ketiga Pasal 44 ayat (1) Nieuw
Burgerlijk Wetboek (BW Baru) Belanda disebutkan empat syarat untuk adanya
penyalahgunaan keadaan, yaitu :
1)
Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere onstandigheden), seperti keadaan
darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak
berpengalaman.
2)
Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), diisyaratkan bahwa salah
salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain dalam
keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu akta perjanjian.
3)
Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah
melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui seharusnya tidak
melakukannya.
4)
Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting bahwa
tanpa penyalahgunaan keadaan itu maka perjanjian tidak ditutup.
Penyalahgunaan keadaan bukan hal baru
dalam hukum perjanjian. Penyalahgunaan
tidak dapat dibenarkan, akan tetapi cara mengkontruksikannya dahulu dan kini
berbeda. Dahulu penyalahgunaan keadaan
dikonstruksikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum atau tata karma
yang baik (geode zeden) sehingga
berkaitan dengan cacat causa dari
perjanjian. Perjanjian yang lahir dalam
kondisi psikologis ataupun ekonomis yang tidak berimbang dapat menyebabkan
salah satu pihak terpaksa menutup perjanjian dengan prestasi yang tidak
berimbang.
Konsekuensi dari cacat causa adalah perjanjian batal demi hukum
(nietig) untuk seluruhnya. Hal itu dipandang tidak adil dikarenakan
sering hanya bagian tertentu dari perjanjian yang dianggap tidak adil oleh
pihak yang dirugikan. Perjanjian juga menjadi dapat dimintakan pembatalan oleh
kedua belah pihak termasuk pihak yang menyalahgunakan keadaan apabila dianggap
perjanjian tersebut ternyata merugikannya.
Pada hakekatnya, penyalahgunaan keadaan
tidak semata berkaitan dengan isi perjanjian yang tidak berimbang. Perjanjian dianggap bertentangan dengan tata krama/kesusilaan
atas dasar keadaan penyalahgunaan keadaan yang mengiringi terjadinya perjanjian
tersebut. Menurut J. Satrio (2001 :
319), sebenarnya mengambil keuntungan dari keadaan orang lain tidak menyebabkan
isi dan tujuan perjanjian terlarang, tetapi menyebabkan kehendak yang
disalahgunakan tidak diberikan dalam keadaan bebas. Dengan demikian masalahnya bukan “kausa/sebab” yang terlarang, tetapi
merupakan cacat dalam kehendak, cara “memaksakan” persetujuan “yang
disalahgunakan”.
Kontruksi penyalahgunaan keadaan
sebagai cacat kehendak membawa konsekuensi perjanjian dapat dimohonkan pembatalannya
(vernietigbaar) kepada hakim oleh
pihak yang dirugikan. Sepanjang
perjanjian belum dibatalkan, maka perjanjian tetap mengikat para pihak yang
membuatnya. Tuntutan pembatalan dapat
dilakukan untuk sebagian atau seluruhnya dari isi perjanjian.
Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan
syarat subyektif perjanjian. Salah satu
pihak menyalahgunakaan keadaan yang berakibat pihak lawan janjinya tidak dapat
menyatakan kehendaknya secara bebas. Van
Dunne membedakan penyalahgunaan menjadi 2 (dua), yaitu karena keunggulan
ekonomis dan keunggulan kejiwaan sebagai berikut (Henry P. Panggabean, 1992 :
41) :
1)
Persyaratan-persyaratan untuk
penyalahgunaan keunggulan ekonomis :
a. satu pihak harus mempunyai keunggulan
ekonomis terhadap yang lain;
b. pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian;
2). Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan
keunggulan kejiwaan :
a. salah satu pihak menyalahgunakan
ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua
dan anak, suami, isteri, dokter pasien, pendeta jemaat;
b. salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa
yang istimewa dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak
berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan
sebagainya;
Posisi tawar yang tidak berimbang dapat
menjadikan salah satu pihak dalam keadaan terpaksa saat menutup
perjanjian. Lebih lanjut, J. Satrio
(2001 : 317-318) mengemukakan beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai ciri
penyalahgunaan keadaan, yaitu :
1) Adanya
keadaaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang mendesak, atau
2)
Adanya hubungan atasan-bawahan,
keunggulan ekonomis pada salah satu pihak, hubungan majikan-buruh, orang
tua/wali-anak belum dewasa ataupun
3)
Adanya keadaan lain yang tidak
menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli,
4)
Perjanjian tersebut mengandung
hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal-balik antara para pihak (prestasi
yang tak seimbang), seperti pembebasan majikan dari menanggung resiko dan
menggesernya menjadi tanggungan buruh,
5)
Kerugian yang sangat besar bagi
salah satu pihak.
Praktek peradilan telah menerima
penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan perjanjian di samping
alasan yang selama ini telah dikenal, yaitu : 1) Perjanjian dibuat oleh mereka
yang tidak cakap (Pasal 1330 KUHPerdata); 2) Perjanjian bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata); 3) Perjanjian
dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata); dan 4)
Wanprestasi dalam pelaksananan perjanjian (Pasal 1266 KUHPerdata). Penulis
mencatat, kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 3641.K/Pdt/2001 tanggal
1 September 2002 adalah “penandatanganan
perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan 42 oleh orang yang sedang
ditahan polisi tersebut, adalah merupakan tindakan “penyalahgunaan keadaan”,
karena salah satu pihak dalam perjanjian tersebut berada dalam keadaan tidak
bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Akibat hukumnya, semua perjanjian yang tertuang dalam Akta No. 41 dan
No. 42 tersebut beserta perjanjian lainnya, menjadi batal menurut hukum atau
dinyatakan batal oleh hakim atas tuntutan/gugatan pihak lain”. Pembatalan perjanjian itu dikarenakan adanya
penyalahgunaan keadaan atas kondisi psikologis yang tidak berimbang diantara
para pihak yang menutup perjanjian. Latar
belakang lahirnya perjanjian adalah adanya janji dari salah satu pihak untuk
membantu penangguhan penahanan pihak lainnya.
C. Pembuktian Adanya Penyalahgunaan Keadaan
KUHPerdata tidak menganut prinsip justum pretitum, yaitu prinsip yang
mengharuskan agar dalam perjanjian timbal balik dipenuhi syarat keseimbangan
prestasi dan kontra prestasi. Oleh
karena itu, adanya prestasi dan kontra prestasi yang tidak berimbang tidak
cukup membuktikan adanya penyalahgunaan keadaan. Tidak berimbangnya prestasi dan kontra
prestasi hanyalah salah satu indikator yang harus dibuktikan lebih jauh apakah
munculnya keadaan itu didahului oleh adanya penyalahgunaan keadaan. Harus dibuktikan bahwa ketidakseimbangan
prestasi yang menyolok terjadi karena adanya tekanan keadaan, yang oleh salah
satu fihak disalahgunakan. Tekanan
keadaan dan ketidakseimbangan saja juga tidak cukup, yang penting justru
dibuktikan adanya penyalahgunaan dari keadaan ekonomis atau psikologis (J.
Satrio, 2001 : 322-323).
Penilaian ada tidaknya penyalahgunaan
keadaan harus dilakukan secara kasuistis. Hingga saat ini belum terdapat
peraturan perundang-undangan yang secara limitatif menyebutkan kriteria
penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, maka terhadap setiap kasus harus
dilihat secara obyektif-rasional mengenai situasi dan kondisi pada saat
ditutupnya perjanjian dan formulasi prestasi maupun kontra prestasi pada
penjanjian itu sendiri. Kesimpulan
adanya penyalahgunaan keadaan secara subyektif semata tanpa melihat kriteria
obyektif dapat menyebabkan ketidakpastian hukum yang mencenderai keadilan.
Untuk menentukan ada tidaknya
penyalahgunaan keadaan, indikator yang dapat menjadi patokan adalah :
1)
Dari aspek formulasi perjanjian,
prestasi dan kontra prestasi yang dibebankan kepada para pihak tidak berimbang secara
mencolok dan bahkan tidak patut, dan
2)
Dari aspek proses ditutupnya
perjanjian, hal itu terjadi dikarenakan adanya pihak yang menyalahgunakan
keadaan sebagai akibat memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, baik berupa
kelebihan secara ekonomi ataupun psikologis.
Sebagaimana lazimnya dalam tuntutan
pembatalan perjanjian atas dasar cacat kehendak, maka tidak diperlukan unsur kerugian.
Sudah cukup apabila dapat dibuktikan bahwasanya tanpa adanya penyalahgunaan
keadaan, perjanjian tidak mungkin lahir.
Merugikan dapat diartikan sebagai
perjanjian dipaksakan (opgedrongen). Jadi kerugian (nadeligheid) sama dengan terpaksa (onvrijwilligheid). Menurut
Parlemen Belanda, kerugian hanya disebut bahwa kerugian dalam bentuk apapun dan
kerugian tidak harus ada dalam perbuatan hukum dalam arti ketidaksamaan antara
prestasi-prestasi atau klausula yang berat sebelah (exoneratie atau onereuze
clausules), tetapi dapat pula bersifat subyektif dan idiil. Perdebatan di Parlemen Belanda membuahkan
hasil bahwa unsur kerugian ternyata tidak dicantumkan dalam Pasal 3 : 44 NBW
(Herlien Budiono, 2008 : 20).
D. Penutup
Kebebasan berkontrak mengandung makna
kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian asalkan dikehendaki oleh
para pihak dan causanya tidak
terlarang. Pada perjanjian dengan posisi
para pihak yang berimbang akan melahirkan prestasi dan kontra prestasi yang
berimbang pula. Akan tetapi tanpa
batasan terhadap kebebasan berkontrak, dapat menjadi pengekangan terhadap kebebasan
pihak lain yang mempunyai posisi tawar rendah dalam menutup perjanjian.
Pembatasan terhadap kebebasan
berkontrak dipengaruhi berbagai perkembangan dalam hukum perjanjian. Berkembangnya ajaran itikad baik saat menutup
perjanjian dan makin berpengaruhnya ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai
alasan pembatalan perjanjian turut membatasi kebebasan berkontrak. Semakin berkembangnya peraturan perundang-undangan
di bidang ekonomi juga turut membatasi kebebasan berkontrak. Misalnya larangan dalam Pasal 18 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha
membuat atau mencantumkan klausula baku tertentu. Peraturan-peraturan tersebut sering membuat
ancaman kebatalan perjanjian diluar adanya alasan paksaan, kesesatan dan penipuan
yang selama ini kita kenal.
DAFTAR PUSTAKA
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2008.
------, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2009.
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari perjanjian Buku I, Bandung , PT Citra
Aditya Bakti, 2001.
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 1995.
------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta , PT
Intermasa, 1996.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung , Mandar
Maju, 2000.