A. PENGANTAR
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual, yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (natural person) sebagai subjek hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.
Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daad-dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum sentral1. Penerapan pertanggungjawaban korporasi akan mendapat kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi .
Sementara itu perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan korporasi-korporasi tersebut telah menjalankan berbagai aktifitas perekonomian yang bersifat transnasional sedangkan negara-negara berkembang yang merupakan objek globalisasi pada umumnya mempunyai karakteristik penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang lemah dan moral yang rendah yang kesemuanya akan menambah maraknya kejahatan korporasi. Akibatnya aspek viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan, karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.
Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dengan menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59 KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi .
B. DOKTRIN STRICT LIABILITY DAN VICARIOUS LIABILITY
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea, atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan menyulitkan untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Oleh karena itu apabila korporasi melakukan perbuatan yang berdampak mendatangkan kerugian bagi pihak lain, maka cukuplah fakta yang menderitakan korban dijadikan dasar menuntut pertanggungjawaban pidana dari korporasi tanpa harus menilai kesalahan pembuatnya. Hal ini sebenarnya bukanlah hal baru, karena beberapa negara (Anglo Amerika) telah memberlakukan doktrin stict liability dan vicarious liability untuk jenis tindak pidana tertentu .
Doktrin strict liability atau liability without fault adalah pembebanan tanggung-jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang dipersyaratkan. Substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah dapat dijatuhi pidana apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya.
Penerapan doktrin strict liability secara luas ternyata banyak mendapat penentangan karena tindak pidana (kejahatan) mensyaratkan sekap bathin bagi pelakunya sehingga korporasi tidak mungkin memiliki mens rea. Sebagai suatu fiksi hukum, korporasi tidak mungkin melakukan perbuatan hukum sendiri melainkan perbuatan yang mengikat dirinya dilakukan oleh pengurusnya yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Solusinya adalah dengan mengeluarkan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.
Dokrin vicarious liability sering diartikan pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Doktrin ini didasarkan asas respondeat superior, di mana dalam hubungan antara master dengan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per se. Menurut maxim ini tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu . Vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain itu (delegation principle).
2. Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruh itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s act is the master’s act in law).
Menurut Muladi dan Prayitno , penerapan doktrin “strict liability” maupun “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis dan perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya perlindungan makanan, minuman serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pada si pelaku/korban sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri
Sejalan dengan pendirian di atas, RUU KUHP 2004 sebagai ius constituendum telah mengadopsi doktrin Strict Liability dan Vicarius Liabiliy. Hal itu tercantum dalam Pasal 35 ayat (2) dari RUU tersebut :
Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
Pasal 35 ayat (3) RUU KUHP 2004 :
Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.
C. PENERAPAN SYARAT SUBJEKTIF PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak perlu terlalu kaku diberlakukan dalam pertanggungjawaban korporasi mengingat aspek victimologis kejahatan koporasi yang begitu meluas. Penerapan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi secara kaku dapat menjadi faktor kriminogen yang akan menambah maraknya kejahatan korporasi.
Syarat subyektif dalam pertanggungjawaban pidana akan meliputi kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan/kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Apabila ini akan tetap dipakai, maka : pertama, dalam pertanggungjawaban pidana harus diterima konsep kepelakuan fungsional (fungsional daderschap). Ciri khas dari kepelakuan fungsional ini yaitu perbuatan fisik dari yang satu (yang sebenarnya melakukan) menghasilkan perbuatan fungsional terhadap yang lain . Dengan demikian kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. Terhadap konsep ini, Muladi secara kongkrit merekomendasikan untuk melihat apakah perbuatan sesuai dengan tujuan statuta perusahaan dan atau dengan kebijakan perusahaan, dan yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari perusahaan . Dengan kata lain apabila perbuatan yang terlarang pertanggungjawabannya akan dibebankan pada perusahaan, maka perbuatan itu harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari perusahaan.
Kedua, masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi dapat tercakup pada politik perusahaan atau kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Dapat juga dijelaskan dengan melihat kesengajaan atau kealpaan dari pengurus korporasi dalam politik perusahaan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan tertentu . Jadi kesengajaan atau kealpaan dari korporasi harus dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi tersebut maupun pada pengurus yang bertindak atas nama korporasi.
Ketiga, masalah alasan pemaaf bagi korporasi tetap berlaku dengan mengadopsi alasan pemaaf bagi natural person. Hal ini sebagai konsekuensi dari kesalahan pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi diatributkan menjadi kesalahan korporasi, sehingga hapusnya kesalahan pengurus karena alasan pemaaf menjadi hapus juga kesalahan korporasi.
Sementara itu dalam Pasal 50 RUU KUHP (Tahun 2004) disebutkan bahwa alasan pemaaf yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi akan meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Bagi korporasi alasan pemaaf tersebut juga berlaku sepanjang hal itu diajukan terlebih dahulu oleh korporasi. Bunyi selengkapnya Pasal 50 RUU KUHP adalah sebagai berikut :
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
E. PENUTUP
Korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana merupakan suatu keniscayaan mengingat realitas perkembangan korporasi yang berusaha maksimal mendapatkan keuntungan membawa konsekuensi jatuhnya korban yang begitu besar, tidak hanya individu saja, melainkan masyarakat, bangsa dan negara. Aspek korban harus mendapatkan perhatian mengingat rasa keadilan diukur pula dari perspektif korban. Menjawab hal itu, maka asas-asas hukum yang selama ini diberlakukan bagi perorangan tidak perlu kaku diterapkan dalam pertanggungjawaban pada korporasi.
Pertanggungjawaban korporasi ini telah mendapat jawaban dalam kebijakan legislasi dimulai dengan lahirnya undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955. Berbagai undang-undang hukum pidana khusus lainnya juga banyak yang mengatur pertanggungjawaban korporasi seperti undang-undang mengenai perbankan, psikotropika, narkotika, korupsi, perlindungan konsumen, perikanan dan lain sebagainya. Namun dalam beragam undang-undang tersebut belum tedapat perumusan yang seragam mengenai dalam hal apa, bagaimana dan kapan korporasi dapat dipertanggungjawabkan maupun jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan. Kebijakan legislasi demikian dapat menjadi hambatan dalam aplikasinya yang pada akhirnya akan mengurangi efektifitas penerapan pertanggungjawaban korporasi tersebut. Sikap responsif untuk memperbaiki realitas tersebut perlu segera dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Jakarta, 2002.
Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Makalah Seminar, Fakultas Udayana, Denpasar, 15 September 1990.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992.
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia, Banyumedia Publishing, Malang, 2003.
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, IKAPI, Jakarta, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar