WELCOME TO MY BLOG

Blog ini sebagai penuangan pemikiran dan pengalaman dalam berbagai bidang kehidupan

Senin, 03 Mei 2010

KARAKTERISTIK KORBAN PADA KEJAHATAN KORPORASI TRANSNASIONAL

A. PENGANTAR
Globalisasi telah mengakibatkan batas-batas negara semakin bias (borderless state) sehingga mengakibatkan saling interdependensi dan interkoneksi antar negara maupun antara individu. Saling keterkaitain itu memberikan dampak positif memberikan kemudahan-kemudahan, akan tetapi juga berdampak negatif seperti berkembangnya bentuk-bentuk kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal.
Fenomena berbisnis dengan menggunakan korporasi juga mengakibatkan kejahatan-kejahatan baru yang sebelumnya tidak dikenal. Bahkan terdapat juga kejahatan-kejahatan yang sangat kompleks yang tidak terbayangkan sebelumnya sebagai akibat dari kegiatan korporasi transnasional yang bersifat lintas negara.
Sebagai kejahatan yang tidak lagi bersifat konvensional sudah barang tentu kejahatan korporasi mengakibatkan kerugian korban yang sangat besar dan kompleks apabila dibandingkan dengan korban pada kejahatan konvensional. Akan tetapi kajian mengenai korban ini masih sedikit, padahal salah satu dasar kenapa suatu korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana adalah didasarkan pada kerugian korban. Dengan demikian, maka korban pada kejahatan korporasi harus mendapatkan perhatian serius mengingat keadilan di samping diukur dari pelaku dan perbuatan juga diukur dari korban (daad-dader-victim).
B. PEMBAHASAN
Berusaha secara individual dalam trend global saat ini dirasa kurang menjamin terkumpulnya modal sehingga pengembangan korporasi lebih menjamin terkumpulnya modal yang berguna bagi penguasaan pasar (market). Dengan modal yang besar, usaha yang bersifat lintas negara (transnasional) dapat dilakukan dan sesuai dengan semangat kapitalisme, maka prioritisasi keuntungan adalah hal yang jamak. Penekanan itu membuat korporasi akan berusaha meminimalisir persaingan, melakukan monopoli, penipuan, penggelapan pajak dan lain sebagainya yang sangat merugikan negara-negara berkembang (baca : terbelakang) karena pada hakikatnya negera-negara kategori itu adalah objek dari globalisasi.
Negara-negara berkembang mempunyai karakteristik penegakan hukum yang lemah, pengawasan yang kendor, moral yang rendah yang kesemuanya itu akan menambah maraknya kejahatan korporasi. Pemicu kejahatan korporasi yang lain menurut Clinard adalah perilaku top management, kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan margin keuntungan yang rendah atau tipe industri yang sangat kompetitif, riwayat sosial korporasi, praktik dagang yang tidak jujur dari perusahaan saingan (unfair trade practices), dan budaya korporasi yang kesemuanya menjadi faktor kriminogen dari kejahatan korporasi . Hal itu juga dapat dikaji dari apa yang disebut dengan karakteristik white collar crime pada umumnya dan kejahatan korporasi pada khususnya, yaitu : 1) low visibility; 2) complexity; 3) diffusion of responsibility; 4) the diffusion of victimization; 5) difficult to detect and to prosecute; 6) lenient sanctions; 7) ambiguous law; 8) ambiguous criminal status .
Korban kejahatan korporasi (dalam point 4) memiliki spektrum yang luas dan terdapat perbedaan yang bersifat mendasar antara korban kejahatan konvensional dengan kejahatan-kejahatan dalam bentuk inkonvensional. Pada kejahatan yang bersifat konvensional, korban kejahatan akan segera nampak pada saat atau setelah terjadinya kejahatan, sedangkan pada kejahatan yang bersifat inkonvensional, korban kejahatan sulit untuk diketahui atau korban baru diketahui pada waktu yang cukup lama setelah terjadinya kejahatan. Bahkan adakalanya korban tidak mengetahui sama sekali kalau dirinya telah menjadi korban dari kejahatan korporasi.
Hal itu berarti terdapat suatu kesulitan untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. Korban kejahatan korporasi sulit diidentifikasikan mengingat sifatnya yang abstrak (abstract victim). Korban juga kadang tidak menyadari telah menjadi korban kejahatan korporasi seperti pemerintah, konsumen, ataupun perusahaan saingan.
Penyebaran korban yang sangat luas dan kondisi ketidaksadaran korban bahwa ia telah menjadi korban ditambah pula dengan adanya kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengungkap adanya kejahatan korporasi merupakan situasi yang menguntungkan bagi korporasi dalam melestarikan perilaku negatifnya. Dalam kondisi semacam ini korban kejahatan korporasi tidak dapat lagi dikualifikasikan sebagai korban yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelaku (unrelated victims atau non participating victims), tetapi dapat diidentifikasikan sebagai korban yang berpartisipasi (participing victims) terhadap terjadinya kejahatan korporasi dengan perilakunya yang pasif. Atau dapat disebut sebagai precipitative victims karena perilakunya yang sembrono dan pasif mendorong terjadinya kejahatan korporasi. Dalam kondisi ini, sebenarnya terjadi apa yang dinamakan shared responsibility antara pelaku dengan korban individual maupun kolektif .
Pemahaman terhadap spektrum korban kejahatan korporasi dapat dikaji langsung dari apa yang dinamakan pihak-pihak yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang berlawanan dengan tujuan dan kepentingan korporasi berupa prioritization of profit. Menurut Muladi, pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut : 1) perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat dan praktik monopoli. Tindakan merugikan perusahaan lain tersebut akan menjadi semakin parah dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict); 2) negara (state) sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, penghindaran pembayaran pajak dan sebagainya; 3) karyawan (employees) sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak umum untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, PHK yang melanggar hukum; 4) konsumen (consumers) sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya; 5) masyarakat (public) sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan sebagainya. Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat bersifat penderitaan fisik sampai pada kematian; 6) pemegang saham (share golders/investor) sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akutansi .
Apabila proses viktimisasi di atas bersifat langsung (direct victimization), maka terdapat pula proses viktimisasi yang bersifat tidak langsung (indirect victimization) dalam bentuk sebagai berikut : 1) kerugian negara dalam bentuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan pidana (cost of criminal justice) terhadap kejahatan korporasi yang sangat kompleks, dengan konsekuensi lebih besar daripada biaya peradilan pidana kejahatan konvensional; 2) kerugian sosial (social damages) dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat .
Kerugian yang timbul sebagai akibat kejahatan korporasi begitu besar. Akan tetapi sampai saat ini belum ada lembaga yang secara khusus menghitung seberapa besar kerugian akibat kejahatan korporasi tersebut. Secara garis besar kerugian tersebut akan meliputi kerugian di bidang ekonomi/materi; 2) kerugian di bidang kesehatan dan keselematan jiwa; dan 3) kerugian di bidang sosial dan moral.
Pengaruh yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi adalah terjadinya minat para pelaku bisnis, yaitu dari efisiensi di bidang produksi ke efisiansi dalam tindakan manipulasi terhadap masyarakat, termasuk manipulasi terhadap pemerintah dalam usaha memperoleh keuntungan yang diinginkan. Hal itu berpengaruh : 1) cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat amal kepada penguasa atas beban masyarakat (konsumen); dan 2) cenderung membuat pemerintah korup .
Terhadap realitas di atas telah menimbulkan kesadaran kolektif dunia untuk mengatur korporasi transnasional. Di tingkat internasional digunakan istilah Multinasional Enterprises (MNEs) yang secara yuridis dirumuskan sebagai “perusahaan-perusahaan asing yang dikendalikan dari negara asal dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang penting di negara lain, yang disebut negara-negara tuan rumah”. Tentang MNEs ditu lembaga internasional seperti PBB (ECOSOC) dan OECD (organization for economic cooperation and development) telah mengatur kode etik tersendiri bagi MNEs yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Kegiatan perusahaan transnasional
a. Umum dan politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh pada hukum, peraturan dan praktik-praktik administratif negera setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaran-sasaran serta prioritas kebijakan pembangunan; berpegang pada nilai sosial kultural; menghormati HAM, tidak campur tangan urusan politik intern, dan tidak terlibat dalam praktik korupsi.
b. Ekonomi, finansial dan sosial; meliputi ketentuan kepemilikan dan pengawasan, neraca pembayaran dan keuangan, transfer pricing, perpajakan, persaingan dan praktik-praktik bisnis terbatas, transfer teknologi, lapangan kerja dan pekerjaan, perlindungan konsumen, dan perlindungan terhadap lingkungan.
c. penyingkapan informasi.
2. Perlakuan terhadap perusahaan transnasional
Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam kategori ini diantaranya, perlakuan umum perusahaan transnasional oleh negara-negara tuan rumah, nasionalisasi, kompensasi dan yuridiksi.
3. Kerjasama antar negara.

C. PENUTUP
Kejahatan korporasi adalah praktik-praktik atau kegiatan korporasi yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dengan skala korban yang cukup luas, yang kadang-kadang belum terjangkau oleh hukum. Timbulnya kejahatan tersebut adalah akibat dari keinginan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besanya, yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi masyarakat, baik berupa perusakan kondisi alamiah maupun kondisi sosial.
Pada kejahatan korporasi, korban sulit untuk diidentifikasi sebagaimana korban dalam kejahatan konvensional. Karakteristik korban pada kejahatan korporasi dapat dikatakan, yaitu korban yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban, korban yang sifatnya abstrak sehingga sulit diidentifikasi dan penyebaran korban yang sangat luas.

DAFTAR PUSTAKA

I. S. Susanto, Tinjauan Kriminologi terhadap Kejahatan Korporasi, Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, 3-15 Desember 1993.

J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Jakarta, 2002.

Muladi, Korban Kejahatan Korporasi, Materi Penataran nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, FH UNDIP, 1995.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997.

Muladi, Demoktatisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Banyumedia Publishing, Malang, 2003.

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, IKAPI, Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar: